Apakah hukum cadar (menutup wajah) bagi wanita, wajib atau tidak?
Pada edisi yang lalu telah kita sampaikan dalil-dalil
para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita. Sekarang -insya Allah- akan
disampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkannya.
DALIL-DALIL YANG TIDAK MEWAJIBKAN
Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar bagi wanita.
Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar bagi wanita.
1. Firman Allah
وَلاَ يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. [An Nur :31]
Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas
berkata, “Wajah dan telapak tangan.” [1]
Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari Ibnu Umar. [2].
Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa
wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat
yang wajib ditutup.
2. Firman Allah.
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada
(dan leher) mereka. [An Nur : 31]
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala
memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan
baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan
dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak
mungkin selain itu.” [3]
Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup
kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah
karya Imam Ibnul Atsir, tafsir Al Qur’anil ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir,
tafsir Fathul Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. [4]
3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ
بِمَايَصْنَعُونَ {30}
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
[An-Nur : 30-31]
[An-Nur : 30-31]
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada
sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan
untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan
kedua telapak tangan. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 76,77]
Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang
memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan
jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya.
عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ n قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ n إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا
الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ
الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ
وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di
jalan.” Maka para Sahabat berkata, ”Kami tidak dapat meninggalkannya, karena
merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajeleis di jalan), maka
berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab,
“Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintakan
kebaikan dan mencegah kemungkaran.” [5]
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu.
يَا عَلِيُّ لَا
تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ
الْآخِرَةُ
Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan
(pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa)
pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua). [HR Abu
Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syeikh Al-Albani dalam Jilbab Al
Mar’atil Muslimah, hal. 77]
Jarir bin Abdullah berkata.
سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ
فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ
Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda,
“Palingkan pandanganmu.” [HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat
Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 78]
Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini
terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan,
tetapi hal itu adalah sunnah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah
menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang
syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan
beliau tidak menambahinya.” [Adabusy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih.
Lihat: Jilbab Al-Mar’atil Muslimah, hal. 77]
4. Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia
berkata.
أَنَّ أَسْمَاءَ
بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا
بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا
وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ
بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا
Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai Asma’,
sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas
terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua
telapak tangannya. [6]
Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syeikh Al Albani
menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat : [7]
a). Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi n
bersabda. “Jika seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat
sesuatu darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” [8]
b). Diriwayatkan oleh Thabarani dan Al Baihaqi dari
jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin
‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka dari
Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya, yaitu Asma bintu
Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar lengan bajunya. Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau bangkit lalu
keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak
beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat keadaan
Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya
kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan bajunya dan menutupkan
pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak hanyalah jari-jarinya,
kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang
nampak hanyalah wajahnya.”
Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya dha’if”. Kelemahan
hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah
menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama dan
terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syeikh Al Albani menyatakan
bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. [9]
c). Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan
Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak
ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. [10]
5. Jabir bin Abdullah berkata:
شَهِدْتُ مَعَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ
فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ
قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى
طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ
فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ
جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ
فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ
وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ
يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah,
dengan tanpa adzan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal,
memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan mendorong untuk mentaatiNya.
Beliau menasehati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau berlalu sampai
mendatangi para wanita, lalu beliau menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau
bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu adalah bahan bakar
neraka Jahannam! Maka berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang
pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh
dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan
perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain
Bilal. [HSR Muslim, dan lainnya]
Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat,
yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak
dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. [Lihat Jilbab
Al Mar’atil Muslimah, hal. 59] [11]
6. Ibnu Abbas berkata.
أَرْدَفَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ
امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا
فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ
إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ وَجْهَهُ
عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …
Rasulullah n memboncengkan Al Fadhl bin
Abbas……kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang banyak.
Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta fatwa kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl melihat wanita
tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian
memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya……[HR Bukhari, Muslim, dan lainnya]
Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di
tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia
menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?” Beliau
menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, sehingga aku tidak
merasa aman dari syaithan (menggoda) keduanya.” [HR Tirmidzi, Ahmad, dan
lainnya. Syeikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”]
Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi
setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah
muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah
wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di hadapan orang banyak.
Pastilah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk
menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya
wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau
buruk.”
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam
hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah.
Konsekwensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu dikuatkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan wajah Al Fadhl
sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya terhadap wanita tersebut,
sehinga beliau khawatir fitnah menimpanya.
Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan
watak dasar manusia terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan
kekaguman terhadap wanita.
Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin
tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am
tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl.
Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa menutup wajah
wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh menampakkan wajahnya
ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki asing.” [Fathul Bari XI/8]
Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah
oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am
tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram).
Tetapi Syeikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan
muhrimah (wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas.
Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. [12] Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunnah).
Seandainya wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. [12] Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunnah).
Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). [Lihat Jilbab Al Mar’atil
Muslimah, hal. 61-64]
7. Sahl bin Sa’d berkata.
أَنَّ امْرَأَةً
جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ
طَأْطَأَ رَأْسَهُ…
Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang
untuk menghibahkan diriku kepada anda.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu
beliau menundukkan kepalanya…….” [HR Bukhari, Muslim, dan lainnya].
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Di
dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan kecantikan
seorang wanita karena berkehendak menikahinya…tetapi (pemahaman) ini terbantah
dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi kesimpulan kami, bahwa tidak
haram bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat wanita mukminat
yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi
menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut, dia mengatakan, “Kemungkinan
hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi
dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.” [Fathul
Bari IX/210]
8. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata.
كُنَّ نِسَاءُ
الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ
إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ
الْغَلَسِ
Dahulu wanita-wanita mukminat biasa menghadiri shalat
subuh bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh
(mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka ketika
telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap.
[HR Bukhari dan Muslim].
Dalam riwayat lain,
وَمَا يَعْرِفُ
بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ
Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain. [13]
Dari perkataan ‘Aisyah, “tidak ada seorangpun mengenal
mereka karena gelap” dapat difahami, jika tidak gelap niscaya dikenali,
sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka.
[Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]
7. Ketika Fathimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh
suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadanya
memerintahkan agar dia ber’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau
mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,
أَنَّ أُمَّ
شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ
مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ
فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …
Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang
Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum
yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup kepala) dia
tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…[HR Muslim].
Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan Fathimah binti Qais dengan
memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak
wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau n
khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang
harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat
untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Kartena dia
tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. [Lihat Jilbab
Al Mar’atil Muslimah, hal. 65]
Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa
setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk Islam dari
Nashrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun ayat jilbab turun tahun
3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya kewajiban berjilbab. [Lihat
Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 66-67].
9. Abdurrahman bin ‘Abis,
سَمِعْتُ ابْنَ
عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى
أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي عِنْدَ دَارِ كَثِيرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ
خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ
وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ بِأَيْدِيهِنَّ
يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ
Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah anda
(pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih kecil,
niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi tanda
yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat, kemudian
berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian
menasehati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk
bershadaqah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka
melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai shadaqah) ke kain Bilal. Kemudian
Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya. [HR Bukhari, Abu Dawud, Nasai, dan
lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam kitab Jum’ah]
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Inilah Ibnu Abbas –di
hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam– melihat tangan para wanita,
maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun selainnya wajib
ditutup.”
Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan
perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena
peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad
meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan
ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah : 12), padahal ayat ini turun pada
Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah
jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menikahi Zainab binti Jahsy. [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal.
67, 75]
10. Dari Subai’ah binti Al-Harits,
أَنَّهَا
كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ
وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنْقَضِيَ أَرْبَعَةُ
أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ فَلَقِيَهَا أَبُو السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ
بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ
وَ تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ لَهَا ارْبَعِي عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا
لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ النِّكَاحَ
Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d
wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar).
Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4 bulan
10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu Ba’kak)
menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai celak mata (dan
memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu Abu As Sanabil berkata
kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat semacamnya) mungkin engkau
menghendaki nikah…” [HR Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil
Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim].
Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak
tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat.
Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh
menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi setelah
kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun 10 H. [Lihat Jilbab
Al Mar’atil Muslimah, hal. 69]
11. Atha bin Abi Rabah berkata,
قَالَ لِي ابْنُ
عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ
هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي
قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ
أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ
اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا
Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan
kepadamu seorang wanita dari penghuni sorga?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata,
“Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu berkata, ‘Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), dan (jika
kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk (kesembuhan) ku!”Beliau
menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan
sorga. Tetapi jika engkau mau, aku akan berdo’a kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh
penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika
kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. [HR Bukhari, Muslim,
dan Ahmad]
12. Ibnu Abbas berkata,
كَانَتِ
امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى
يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ
حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ
إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا
الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )
Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di
belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian orang
laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu.
Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia
dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan (ayat), وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ
عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ [HR
Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Ash
Shahihah no. 2472. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 70].
Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah
wanita biasa terbuka.
13. Ibnu Mas’ud berkata
رَأَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى
سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى
حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ
إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
seorang wanita sehingga wanita itu mempesona beliau, maka beliau mendatangi
Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya ada
banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu beliau
menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapapun lelaki yang melihat
seorang wanita, sehingga wanita itu mempesonanya, maka hendaklah dia pergi
kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu ada yang semisal apa
yang ada pada wanita (yang mempesonakan) itu. [HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi,
dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah
no:235]
Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata
menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
14. Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di
antara mereka yang berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آكُلُ بِشِمَالِي
وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ فَضَرَبَ يَدِي فَسَقَطَتِ اللُّقْمَةُ فَقَالَ لَا
تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكِ يَمِينًا أَوْ قَالَ وَقَدْ
أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk
menemuiku ketika aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang
wanita yang kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh.
Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan
Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah telah
menyembuhkan tangan kananmu.” [HR Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syeikh
Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 72]
15. Berlakunya Perbuatan Ini Setelah Wafatnya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam.
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiyat yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah [hal. 96-103].
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian sahabiyat yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah [hal. 96-103].
Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan
wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.
16. Anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan
telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah
terjadi perselisihan diantara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, dan Imam Syafi’I), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan
satu riwayat dari Imam Ahmad. Diantara ulama besar madzhab Hambali yang
menguatkan pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu
Muflih. Ibnu Qudamah t menyatakan dalam Al Mughni, “Karena kebutuhan mendorong
telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil
dan memberi.” [Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 7-9].
17. Tambahan
Dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup.
Dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup.
Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa
peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga
menunjukkan dibolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak
terhapus oleh ayat hijab.
Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa
peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka hal
itu menunjukkan dibolehkan membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita.
Sedangkan menurut kaedah, bahwa setiap hukum itu tetap sebagaimana sebelumnya
sampai ada hukum lain yang menghapuskannya. Maka orang yang mewajibkan wanita
menutup wajah wajib membawakan dalil yang menghapuskan bolehnya wanita membuka
wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan
dan dalil yang memperkuat hukum asal tersebut.
KESIMPULAN
1. Wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian sahabiyyat (para wanita sahabat). Sehingga merupakan sesuatu yang disyari’atkan dan keutamaan.
1. Wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian sahabiyyat (para wanita sahabat). Sehingga merupakan sesuatu yang disyari’atkan dan keutamaan.
2. Membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian
sahabiyyat. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.
3. Seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang
menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan.
4. Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang
mewajibkan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi
diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum.
Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar begitu kuat;
menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus
ditutup.
Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita.
Mudah-mudahan kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan
sebaik-baiknya. Wallahu a’lam bishshawwab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VI/1423H/2002. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. Wallahu a’lam
[2]. Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59-60
[3]. Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 73
[4]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 72-73
[5]. HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13
[6]. HR Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah
[7]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 58
[8]. Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. Wallahu a’lam
[9]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59
[10]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59
[11]. Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam
[12]. Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar
[13]. HR Abu Ya’la di dalam Musnadnya. Dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Mar’atil Muslimah, hal. 66.
_______
Footnote
[1]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. Wallahu a’lam
[2]. Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59-60
[3]. Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 73
[4]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 72-73
[5]. HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13
[6]. HR Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah
[7]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 58
[8]. Tetapi kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. Wallahu a’lam
[9]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59
[10]. Lihat Jilbab Al Mar’atil Muslimah, hal. 59
[11]. Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam
[12]. Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar
[13]. HR Abu Ya’la di dalam Musnadnya. Dishahihkan Syeikh Al Albani dalam Jilbab Mar’atil Muslimah, hal. 66.