Biografi Ibnu Abbas dan Tafsir di riwayatkan Fairuzzabaddi
Ibn ‘Abbas Nama ‘Abdullah ibn ‘Abbas tidak dapat ditinggalkan
ketika seseorang membicarakan tafsir al-Qur’an, karena dialah yang secara
terang- terangan mendapatkan doa khusus dari Nabi Saw. (kalau boleh penulis
nyatakan ia telah mendapat legitimasi langsung dari Nabi Saw.) menjadi salah
seorang yang mampu memahami dan
menafsirkan al- Qur’an (allahumma faqqihhu fi al-din wa ‘allimhu al-ta’wil).[1]
Nama lengkap Ibn ‘Abbas adalah ‘Abd Allah bin ‘Abbas bin ‘Abd al-
Mutalib bin Hashim bin ‘Abd al- Manaf al-Quraishi al-Hashimi. Ibunya bernama
Umm al-Fadl Lubanah binti al-Haris al-Hilaliy- yah. Ia dilahirkan ketika Bani
Hashim berada di Shi’b, kurang lebih tiga atau lima tahun sebelum hijrah
(pendapat pertama) atau lahir tahun 3 sebelum Hijriyah, yang dianggap oleh sebagian
besar ulama, lebih kuat.[2]
Ia pernah diangkat menjadi gubernur Basrah pada masa Usman dan pada
masa ‘Ali. Kemudian setelah masa terbunuhnya ‘Ali, Ibn ‘Abbas mengangkat ‘Abd Allah bin al-Haris sebagai
penggantinya. Dalam perjalanan hidupnya, Ibn ‘Abbas banyak berdialog dengan
Rasulullah Saw. sekalipun ia masih muda, bahkan saat ia berumur sekitar 13-15
tahun ia ditinggal Nabi Saw. berpulang ke rahma- tullah, artinya semasa hidup
Nabi Saw. ia masih sangat muda sekali. Kemudian ia sendiri wafat pada tahun 68
H. dengan umur 71 tahun, di kota Taif dan dikuburkan di sana pula.[3]
Ketenaran Ibn ‘Abbas di bidang tafsir bahkan keilmuannya secara
umum menjadikan ia banyak dikenal dengan beberapa gelar antara lain: bahr
al-‘Ilm (lautan ilmu), habr al-ummah (ulama’ umat), turjuman al-Qur’an (juru
tafsir al-Qur’an), rais al-mufassirin (pemimpin para mufassir), al-bahr
(lautan)[4],
dan juga habr al-Qur’an (ulama’ al-Qur’an).[5]
Julukan-julukan di atas sebagai pengakuan umat atas ilmunya yang
banyak, ijtihadnya yang agung, dan ma‘rifatnya terhadap makna- makna al-Qur’an
di samping akhlaknya yang mulia, hingga ia banyak dijadikan sandaran sahabat
dalam tafsir maupun fatwa. Di antara sahabat yang mengakui kemampuan dan juga
bersandar kepada Ibn ‘Abbas dalam bidang tafsir ini adalah ‘Umar bin al-
Khattab.
Di antara sebab keunggulan dan kemasyhurannya di bidang ilmu
khususnya bidang tafsir ini, menurut sebagian ulama antara lain:[6]
1. Doa Nabi
Saw. khusus terha- dapnya: allahumma ‘allimhu al- kitab wa al-hikmah, dalam
riwayat lain dikemukakan: allahumma faqqihhu fi al-din wa ‘allimhu al-ta’wil.
2. Masa
pertumbuhannya di kediaman Nabi Saw. sehingga banyak mendengar dari Nabi Saw.
berikut menyaksikan berbagai peristiwa yang terkait dengan nuzul al-Qur’an.
3. Hubungan dia
dengan sahabat besar setelah Nabi Saw. wafat sekaligus
banyak meriwayatkan dari mereka, memahami tempat- tempat nuzul al-Qur’an,
tarikh tashri‘, asbab al-nuzul dan beberapa hal yang terkait dengan al-Qur’an.
4. Upaya
sungguh-sungguh meme- lihara bahasa Arab, memahami gharib, adab, khasais dan
asalib- nya.
5. Ia telah
mencapai maqam ijtihad dan keberaniannya dalam menjelaskan apa yang ia yakini
benar.
Dua karakter khas dari pengutipan Ibn ‘Abbas dalam menafsirkan
al-Qur’an:[7]
pertama, menggunakan syair-syair Arab kuno sebagai unsur pembuktian dan
membantu pemahaman makna lafadz yang gharib dari al-Qur’an, dan untuk
menguatkan alasan ini ia mengatakan: “Bila dalam al- Qur’an terdapat sesuatu
yang sulit dimengerti maknanya, carilah keterangannya dari syair-syair kuno”.
Kedua, merujuk kepada orang-orang Ahl al-Kitab yang telah memeluk agama Islam
seperti Ka‘ab al-Akhbar al-Yahudi, ‘Abd Allah bin Salam, dan ahl al-Kitab,
dengan dasar apa yang dikutipnya tersebut memiliki kesesuaian dengan ajaran
al-Qur’an dan pengutipan inipun dalam wilayah yang sangat terbatas.
Beberapa catatan penting tentang Ibn ‘Abbas ini antara lain:[8]
1. Ibn ‘Abbas dianggap sebagai orang pertama yang mendirikan
perguruan tafsir di mana ilmu bahasa dan syair-syair kuno diajarkan sebagai
mata pelajaran pelengkap.
2. Ibn ‘Abbas tidak hanya meng-gunakan fikiran semata dalam
menafsirkan ayat, ia juga melandaskan kepada riwayat, bahkan diketahui hadis
riwayat Ibn ‘Abbas seluruhnya berjumlah 660 hadis, 95 hadis di antaranya
disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim, secara terpisah al- Bukhari menetapkan
120 hadis dan Muslim menetapkan 49 buah.
Al-Fairuzabadi
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ya‘qub bin Muhammad bin Ibrahim
bin Muhammad bin Abi Bakr bin Idris ibn Fadl Allah bin al-Shaikh Abi Ishaq Sahib pengarang kitab “al- Tanbih”
al-Shaikh Majd al-Din Abu al-Tahir al-Shairazi al- Fairuzabadi Shahib
“al-Qamus”[9].
Al-Fairuzabadi[10]
lahir pada Rabi’ al-akhir, ada yang menyatakan Jumad al-Akhir tahun 729 di
Kazrun sebuah kota di Persi antara al-Bahr dan Shairaz. Ia tumbuh dan menghafal
Qur’an pada saat berada di Kazrun tersebut, saat umur 7 tahun ia menghafal
al-Qur’an.[11]
Kemudian setelah pindah ke Shairaz, ia belajar bahasa serta adab
dari ayahnya sendiri di samping kepada Qawam al-Din ‘Abd Allah bin Mahmud dan
lainnya. Selanjutnya ia ke Baghdad, dan di kota ini ia belajar kepada Taj al- Din Muhammad bin
al-Sabbak, kemudian menuju Damaskus, ia belajar kepada lebih dari 100 guru, selanjutnya ke
Quds yang mem- bawanya kepada kemasyhuran, karena di kota inilah ia mulai
mengajar dan menerbitkan karya- karyanya. Kemudian dilanjutkan ke Kaero dan belajar kepada al-
Jamal al-Asnawi, Ibn Hisham, al- Baha’ bin ‘Uqail dan beberapa ulama lain.
Perjalanan ilmiah al- Fairuzabadi ini berlangsung terus hingga mencapai wilayah
Tenggara menuju Roma, India dan beberapa kota lainnya.[12]
Di antara karyanya di bidang tafsir, hadis, tarikh, bahasa antara
lain:[13]
1. Basair zawai al-Tamyiz fi Lata’if al- Kitab al-‘Aziz,
2. Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn ‘Abbas,
3. al-Dur
al-Nudum al-Murshid ila Fada’il al-Qur’an al-‘Adim dan beberapa karya bidang
tafsir lainnya,
4. Shawariq
al-Asrar al-‘Ulyah fi Sharh Mashariq al-Anwar al- Nubuwwah, dan beberapa karya
bidang hadis lainnya,
5. Nuzhah al-Azhan fi Tarikh Asbihan,
6. Raudah
al-Nadir fi Tarjamah al- Shaikh ‘Abd al-Qadir, dan kara bidang tarikh lainnya,
7. al-Luma‘ al-Mu‘allim al-‘Ajab al- Jami‘ bain al-Muhkam wa al-
‘Abab,
8. Maqsud zawai
al-Albab fi ‘Ilm al- A‘rab, dan beberapa karya lainnya di bidang bahasa.
Demikian banyak karya al- Fairuzabadi seimbang dengan kesibukannya
menuntut ilmu ke beberapa ulama di beberapa kota. Al-Fairuzabadi meninggal pada
tanggal 20 Syawwal 818 di daerah Zabid.[14]
Tanwir al-Miqbas Min Tafsir Ibn ‘Abbas
Kitab Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas, sebagaimana sering
kita jumpai di perpustakaan menurut al-Ustaz Amin al-Khauli merupakan kitab
yang ditulis oleh Majd al-Din al-Fairuzabadi yang juga penyusun kamus al-Muhit,[15]
sehingga kitab tersebut bukanlah susunan Ibn `Abbas sendiri melainkan riwayat beliau
yang dikutip oleh serangkaian jalur periwayatan yang sampai kepada
al-Fairuzabadi.
Di dalam bagian awal kitab ini dikemukakan jalur sanad yang
dijadikan sandaran al-Fairuzabadi mengutip tafsiran Ibn ‘Abbas yaitu:
Al-Fairuzzabadi berkata: Abd Allah al-Siqah bin al-Ma’mun al-Harawi
telah menyampaikan riwayat kepada kami; ia (Abdullah) berkata: Ayahku telah
menyampaikan riwayat kepada kami, ia (ayahku) berkata: Abu Abd Allah telah
menyampaikan riwayat kepada kami; Ia (Abu Abdullah) berkata: Abu ‘Ubaid Allah
Mahmud bin Muhammad al-Razi menyampaikan riwayat kepada kami; Ia (Abu Ubaid)
berkata: Ammar bin Abdullah al- majid al-Harawi telah menyam- paikan riwayat
kepada kami; Ia (Ammar) berkata: Ali bin Ishaq al- Sammarqandi telah
menyampaikan riwayat kepada kami dari Muham- mad bin Marwan dari al-Kalby dari
Abi Salih dari Ibn Abbas ia berkata:[16]
Jalur sanad di atas merupakan salah satu di antara jalur sanad yang
meriwayatkan secara khusus tafsir Ibn ‘Abbas di samping jalur lain yang banyak
jumlahnya. Dari beberapa jalur tersebut ada yang menyatakan bahwa sanad yang
paling baik adalah yang melalui ‘Ali bin Abi Talhah al-Hashimi dari Ibn‘Abbas[17]
sebagaimana jalur ini dipedomani Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
Sedangkan sanad yang dinilai cukup baik (jayyid) adalah sanad yang melalui Qais
bin Muslim al-Kufi dari ‘Atha’ bin al- Sa’ib.[18]
Namun menurut penilaian beberapa peneliti, riwayat ‘Ali bin Abi
Talhah tersebut tidak didengar langsung dari Ibn ‘Abbas, sebagai- mana
pernyataan al-Zahabi mengu- tip penuturan Imam al-Syafi‘i: “Tidak dapat
dipastikan tafsir tersebut berasal dari Ibn ‘Abbas kecuali beberapa hadis yang
jumlahnya kurang lebih 100 buah”.[19]
Adapun jalur al-Fairuzabadi di atas, dinilai termasuk sanad yang
rancu bahkan jalur yang melalui al- Kalbi dari Abi Salih dianggap paling rancu
oleh sebagian ulama, bahkan bila jalur ini digabung dengan riwayat Muhammad bin
Marwan al-Sadi al-Saghir dianggap sebagai silsilat al-kazib (mata rantai
kebohongan). Sanad lain yang juga lemah adalah sanad Muqatil bin Sulaiman bin
Bishr al-Azdi, bahkan dibandingkan dengan al-Kalbi, lebih lemah lagi, karena
Muqatil dinilai umumnya ulama da’if (lemah).[20]
Jalur sanad lainnya yang disandarkan kepada Ibn ‘Abbas ini adalah
sanad al-Dahak bin Muzahim al-Kufi dari Ibn ‘Abbas, namun jalur ini munqathi’
dan bila riwayat ini digabung denganriwayat Bishr bin ‘Imarah, maka riwayat ini
menjadi lemah karena Bisyr sendiri dinilai da‘if, bahkan bila riwayat ini dikutip dari Juwaibir
dari al-Dahak, maka riwayatnya semakin lemah dan sebiknya ditinggalkan riwayat
tersebut. Demikian pula riwayat yang melalui al-Aufi dan seterusnya dari Ibn
‘Abbas yang banyak digunakan Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim juga lemah sekalipun
tidak terlalu kelemahanya sehingga oleh al-Turmuzi jalur ini dinilai hasan.[21]
Jalur-jalur lain adalah dari Qais bin Muslim al-Kufi dari ‘Atha’ bin al-Sa’ib
dari Sa‘id Ibn Jubair dari Ibn ‘Abbas, di mana jalur ini memenuhi syarat
shahihain. Demikian pula jalur Ishaq (sahib “al-Sir”) dari Muhammad bin Abi
Muhammad maula Ali Zaid ibn Sabit dari ‘Ikrimah atau Sa‘id bin Jubair dari Ibn
‘Abbas dinilai jayyid, dan sanadnya hasan.
Kemudian jalur Isma‘il bin ‘Abd al-Rahman al-Sadi al-Kabir,
terkadang dari Malik, kadang juga dari Abi Shalih dari Ibn ‘Abbas, pada Isma‘il
al-sadi dinilai Muslim dan Sahib al-Sunan al- Arba‘ah berbau-bau syi‘i. Jalur
lainnya dari ‘Abd al-Mulk bin Juraij dari Ibn ‘Abbas, hanya saja jalur ini
perlu dikaji secara mendalam, mengingat Ibn Juraij dinilai kurang adanya
kesungguhan untuk menunjukkan kesahihan riwayat- nya.[22]
Beberapa catatan jalur periwayatan di atas tidak lain untuk membuka
wacana tentang tafsir yang disandarkan kepada Ibn ‘Abbas dengan sikap kritis
dan terbuka, tanpa ada maksud men- jatuhkan kitab tafsir khususnya kitab
susunan al-Fairuzabadi ini, akan tetapi diharapkan ada upaya membandingkan
dengan tafsir yang memiliki jalur yang lebih baik seperti yang dihimpun
al-Bukhari atau minimal dibandingkan dengan kitab tafsir lainnya yang mengutip
pendapat dari Ibn ‘Abbas ini.
Di antara kitab tafsir yang juga secara khusus mengutip pendapat
Ibn ‘Abbas ini adalah kitab Al-Durr al-Mansur karya al-Suyuti, di mana tafsir
Ibn ‘Abbas ini ditempatkan pada tepi kitab tersebut.[23]
Demikianlah gambaran dari jalur penyandaran tafsir terhadap Ibn
‘Abbas berikut penilaian ulama terhadap berbagai jalur, termasuk di dalamnya
jalur yang digunakan al- Fairuzabadi dalam kitab Tanwir al- Miqbas min Tafsir Ibn
‘Abbas ini.
Analisis Terhadap Kitab Dan Muallif
Muallif kitab ini adalah al- Fairuzabadi yang hidup di luar Jazirah
Arab, namun wilayah-wilayah tetangganya merupakan basis tempat berkembangnya
hadis Nabi Saw. seperti Bukhara, Samar- qand dan beberapa kota lainnya,
sehingga penulis berasumsi bahwa tafsir yang dihimpun al-Fairuzabadi dengan
sandaran periwayatan ini tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan tersebut.
Terlebih perjalanan ilmiah al-Fairuzabadi yang demikian luas, yaitu ke beberapa
kota basis ilmuan dan ulama sekaligus banyak berguru kepada ulama-ulama besar
yang ada di dalamnya mendorong dirinya untuk berkiprah di dunia ilmu.
Lingkungan keluarga yang ilmiah dan diniyah turut membentuknya
sebagai ulama, terbukti pendidikan yang diberikan ayahnya sejak kecil dari
hafalan al-Qur’an. Ilmu bahasa dan adab dan beberapa ilmu lainnya.
Masa hidupnya yang semasa dengan al-Mahalli dan al-Suyuti (w. 911)
yang juga muhaddis (kedua- nya penulis tafsir Jalalain) menampakkan kemiripan
dalam cara menafsirkan al-Qur’an yaitu pola yang sederhana dengan menampilkan
makna kata, hanya saja pada Tanwir al-Miqbas ditam- pakkan jalur sanadnya
(sekalipun dinilai lemah oleh ulama) semen- tara Jalalain tidak demikian,
karenanya pula umumnya ulama memasukkan Tanwir al-Miqbas ke dalam kelompok
tafsir bi al-ma’sur, dengan alasan sumber penaf- sirannya adalah riwayat Ibn
‘Abbas. Sedangkan Jalalain digolongkan pada tafsir bi al-ra’y, dengan alasan
sumber penafsirannya adalah nalar kebahasaan.
Terlepas dari penilaian di atas, penulis melihat ada trend di masa
itu untuk menghidangkan tafsir al- Qur’an yang simple (sederhana), ringkas dan
padat. Hal ini menurut hemat penulis sebagai wujud penafsiran yang global dan
memudahkan pembaca berikut membiarkan pembaca mengembangkan sendiri
seluas-luasnya pemahaman terhadap al-Qur’an.
Nama kitab tafsir karya al- Fairuzabadi tersebut adalah Tanwir al-Miqbas min tafsir Ibn ‘Abbas, ada juga yang menyebutnya dengan Tanwir
al-Miqbas fi tafsir Ibn ‘Abbas (dengan kata “fi” bukan “min”. Penamaan
awal (menggunakan “min”) dapat
disaksikan pada halaman judul kitab tafsir ini yang diterbitan Dar al-Fikir
juga terdapat dalam beberapa kitab
seperti al-tafsir wa al-mufassirun karya al-Zahabi serta umumnya jumhur ulama.
Sementara penamaan yang kedua dapat dijumpai dalam kitab Sazrat al-Zahab karya
Abu al-Falah dan al-Dawudi dalam kitabnya thabaqat al-Mufassirin.[24].
Tentang penyandaran riwayat dalam tafsirnya, penulis sependapat
dengan beberapa penilaian ulama di atas yaitu jalurnya lemah, karena di dalam
mengutip riwayat Ibn ‘Abbas disandarkan pada al-Kalbi dari Abi Shalih yang
dinilai ulama lemah. Padahal masih ada jalur lain yang lebih baik dan dipegangi
jumhur ulama khususnya sahib al-sunan, yaitu jalur Qais bin Muslim al-Kufi dari
‘Atha’ bin al-Sa’ib dari Sa’id Ibn Jubair dari Ibn ‘Abbas.
Model (style) atau gaya serta contoh penafsiran Ibn ‘Abbas secara
global, khususnya yang telah disalin dan dihimpun oleh al-Fairuzabadi dalam
kitab Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas adalah sebagai berikut:
1. Format umum pada setiap awal surat, dalam hal ini al-Fairuzabadi
mengawali penafsirannya dengan ungkapan sebagai berikut: wa bi isnadihi ‘an Ibn
‘Abbas. Artinya, penafsiran ayat-ayat yang akan ia sampaikan tersebut
disandarkan kepada sanad yang telah tertera dalam muqaddimah tafsir, yaitu
riwayat ‘Abd Allah al-Siqah bin al-Ma’mun al- Harawi, dari al-Ma’mun, dari Abu
‘Abd Allah, dari Abu ‘Ubaid Allah Mahmud bin Muhammad al-Razi, dari ‘Ammar bin
‘Abd al-Majid al- Harawi, dari ‘Ali bin Ishaq al- Samarqandi, dari Muhammad bin
Marwan, dari al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibn ‘Abbas. Jalur inilah yang
dijadikan sandaran pokok al-Fairuzabadi menafsirkan ayat.
2. Pada surat tertentu, penafsiran al-Fairuzabadi disandarkan
kepada jalur periwayatan yang sedikit berbeda dari jalur periwayatan yang pokok
(poin no 1). Contoh: pada saat mengawali tafsir surat al-Baqarah,
al-Fairuzabadi menggunakan sandaran riwayat sebagai berikut: wa bi isnadihi ‘an
‘Abd Allah bin al-Mubarak qala haddasana ‘Ali bin Ishaq al- Samarqandi ‘an
Muhammad binMarwan ‘an al-Kalbi ‘an Abi Salih ‘an Ibn ‘Abbas. Artinya,
penaf-siran ayat-ayat dalam surat al-Baqarah ini disandarkan pada riwayat ‘Abd
Allah al-Siqah bin al-Ma’mun al-Harawi, dari al- Ma’mun, dari Abu ‘Abd Allah,
dari Abu ‘Ubaid Allah Mahmud bin Muhammad al-Razi, dari ‘Abd Allah bin
al-Mubarak (pada jalur pokok diriwayatkan ‘Ammar bin ‘Abd al-Majid al- Harawi),
dari ‘Ali bin Ishaq al- Samarqandi, dari Muhammad bin Marwan, dari al-Kalbi,
dari Abu Shalih, dari Ibn ‘Abbas.
3. Penyandaran riwayat dalam setiap surat di atas (point 1 dan 2)
merupakan upaya al- Fairuzabadi menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan riwayat Ibn
‘Abbas. Namun demikian, ada beberapa penafsiran al-Fairuzabadi dalam kitab
Tanwir al-Miqbas ini yang tidak diriwayatkan Ibn ‘Abbas. Contoh: Penafsiran
kata “wa shahidin wa mashhud” (Qs al- Buruj) dengan makna “hari Jum`ah dan hari
`Arafah”. Penafsiran tersebut setelah dilakukan penelusuran kepada kitab Jami`
al-Usul fi Alhadis al-Rasul karya Ibn
al-Asir[25]-
merupakan riwayat Abu Hurairah. Contoh lainnya adalah penafsiran kata “tabaqan
`an tabaq” (Qs al-Insyiqaa: 19) yang diartikan sebagai halan ba`da halin
(keadaan demikeadaan yaitu kematian kemudian kehidupan, kematian kemudian
kehidupan lagi dan seterusnya). Penafsiran ini merupakan riwayat Ibn `Umar dan
bukan riwayat Ibn ‘Abbas.
4. Bahkan tak jarang riwayat Ibn ‘Abbas yang terdapat di dalam
kitab Jami‘ al-Usul (sebagai kitab himpunan dari kitab-kitab hadis mu‘tabar,
seperti Sahih al- Bukhari, Sahih Muslim, Sunan al- Tirmizi, Sunan Abi Dawud,
dan beberapa kitab hadis lain) tidak dimasukkan dalam kitab penaf- siran
al-Fairuzabadi ini. Contoh: kalimat “inni mutawaffika” Ibn ‘Abbas
menafsirkannya dengan “mumituka” sebagaimana diriwa- yatkan al-Bukhari.[26]
Dan banyak lagi contoh lainnya
5. Termasuk dalam hal Qira’at riwayat Ibn ‘Abbas, oleh al-
Fairuzabadi tidak disinggung sama sekali, seperti bacaan tambahan Ibn ‘Abbas
pada surat al-Baqarah ayat 19: laisa ‘alaikum junahun an tabtaghu fadlan min
rabbikum fi mawasim al-hajj,[27]
di mana kata fi mawasim al-hajj merupakan tambahan dari Ibn ‘Abbas. Demikian
juga lafad al- salama dipendekkan lam fathah- nya dalam surat al-Nisa’ ayat 90,
dibaca al-salam dengan dipan- jangkan lam fathahnya: wala taqulu liman alqa
ilaikumus salama lasta mu’mina, qara’a Ibn Abbas al-salama (Riwayat Bukhari dan
Muslim).[28]
6. Pada setiap awal surat diberikan keterangan makiyyah madaniyah-
nya, kemudian jumlah ayat serta jumlah hurufnya.
7. Ditinjau dari metode yang digunakan di
dalamnya, tafsir ini menggunakan manhaj (metode) ijmali atau global method,
mengingat penafsiran dilakukan kalimat-perkalimat, ayat-per ayat,
surat-persurat secara berurutan dari awal surat hingga akhir surat dengan
tafsiran global atau thariqah al-mujmal. Bahkan kalau boleh dinyatakan, tafsir
ini mirip polanya dengan Jalalain yaitu mencari makna padanan, apakah padanan
itu diambil dari bahasa ataukan riwayah. Tentunya al-Fairuza- badi bermaksud
hanya men- carikannya dari riwayat khusus- nya kepada Ibn ‘Abbas, sesuai dengan
penamaan kitabnya Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas.
8. Ditinjau dari sisi al-laun (warna) tafsirnya, sulit ditentukan
secara pasti, mengingat orientasi dan wacana mufassirnya kurang begitu nampak,
hal ini dikare- nakan orientasi awal dari al- Fairuzabadi dalam tafsirnya ini
adalah menyandarkan pada riwayat Ibn ‘Abbas, bukan hendak mengedepankan sisi
kebahasaannya, ayat hukumnya, nilai filosofisnya, ilmu kalamnya, sejarahnya,
tasawwufnya atau- pun yang lainnya.
9. Pada penafsiran ayat tertentu yang menunjuk kepada seseorang
atau kelompok orang, Ibn ‘Abbas menunjuk nama orang yang ada pada masanya.
Contoh: tafsir ayat “wa bil akhirati hum
yuqinun” (Qs 2: 4): “dan terhadap hari kebangkitan setelah kematian serta
kenik- matan surga mereka meyaki- ninya, yang di maksud mereka ini adalah ‘Abd
Allah bin Salam wa ashabih” (nama ini sering disebut di samping nama Abu Bakar
untuk mewakili orang yang beriman). Sebaliknya, untuk menggambarkan orang yang
inkar dari kalangan Yahudi, Ibn ‘Abbas sering menyebut nama Ka’ab bin Ashraf
dan teman-temannya; dan untuk menggambarkan orang yang ingkar dari kalangan
musyrikin, Ibn ‘Abbas menyebut nama ‘Utbah, Shaibah dan Walid. Contoh: tafsir
ayat “wa lahum ‘azabun ‘adim” (Qs 2: 7): “bagi mereka siksa yang pedih, mereka
ini orang-orang Yahudi yaitu Ka’ab bin al-Ashraf dan teman- temannya, juga mereka ini adalah
kelompok musyrik penduduk Mekah seperti ‘Utbah, Shaibah dan Walid”.
10. Kitab Tanwir al-Miqbas ini, disamping memuat penafsiran yang
disandarkan kepada Rasulullah Saw., juga menggunakan ijtihad atau renungan
mendalam Ibn ‘Abbas, bahkanbeberapa penafsirannya ia sandarkan kepada cerita
ahl al- Kitab. Contoh : Tafsir ayat “qulna ihbitu minha jami’an” (Qs 2: 38) :
“Kami berkata kepada Adam, Hawa, ular, burung dan iblis: keluarlah kalian semua
dari langit”.
11. Mashadir atau sumber penafsiran Ibn ‘Abbas lainnya adalah pada
syair-syair kuno. Contoh: Tafsir kata “al-wasilah” dalam Qs 5: 35 ditafsirkan
dengan “derajat yang tinggi atau jalan terdekat yaitu dengan amal shalih”.
Dalam kutipan al-Zahabi terhadap penafsiran ayat di atas, Ibn ‘Abbas
menyertakan sebuah syair untuk memperjelas makna, yaitu: Inna al-rijala lahum
ilaika wasilah an ya’khuzuka takhaly wa takhdaby,“Sesungguhnya para pria
memiliki hajat kepadamu, bila mereka menghendakimu maka kamu bercelak dan memakai
warna-warni.”[29]
Namun dalam Tanwir al-Miqbas, syair ini tidak dikemukakan
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas ada beberapa point penting yang perlu
diperhatikan:
1. Ibn ‘Abbas dalam sejarah tafsir dikenal sebagai pemimpin para
mufassir dan telah mendapatkan restu Nabi Saw. di bidang ini.
2. Penafsiran Ibn ‘Abbas ini banyak dikutip oleh mufassir, demikian
pula ulama yang menghimpunsecara khusus tafsirnya melalui beberapa jalur sanad.
Masing- masing jalur periwayatan yang disandarkan kepada Ibn ‘Abbas ini
memiliki kekuatan dan kelemahan, sehingga ada yang benar-benar otentik dari Ibn
‘Abbas, ada pula yang tidak otentik lagi.
3. Salah satu kitab himpunan Tafsir Ibn ‘Abbas adalah Tanwir al-
Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas karya al-Fairuzabadi yang hidup sekitar 6 abad
setelah Ibn ‘Abbas wafat sehingga terdapat tenggang waktu yang cukup panjang
dan tidak mustahil terjadi perubahan-perubahan dalam periwayatannya.
4. Dalam menafsirkan ayat, Ibn ‘Abbas merujuk kepada Rasu- lullah
Saw., nalar ijtihad-nya, syair-syair kuno serta beberapa keterangan ahl
al-Kitab yang telah memeluk agama Islam. Namun setelah ditelaah secara mendalam
terhadap kitab Tanwir al-Miqbas –yang disandarkan muallifnya kepada tafsir Ibn
‘Abbas- ternyata di dalamnya memuat beberapa riwayat yang disandar-kan kepada
selain Ibn ‘Abbas, seperti riwayat Abu Hurairah dan Ibn ‘Umar, bahkan ada yang
tidak memiliki sandaranriwayat sama sekali, sehingga dimung-kinkan dalam kitab
tafsir ini (Tanwir al-Miqbas) memuat ijtihad al-Fairuzabadi sendiri dengan
pendekatan kebahasaan semata.
5. Namun demikian, penulis tetap mengakui bahwa kitab tafsir ini
secara global menggunakan pendekatan riwayah. Dalam hal manhaj al-tafsir,
al-Fairuzabadi menggunakan manhaj ijmali yaitu penafsiran ayat secara utuh
sesuai urutan mushaf secara global. Mengingat penafsiran yang dituangkan dari
keinginan awal al-Fairuzabadi ini berda- sarkan riwayah, maka tidak nampak
corak khusus dalam tafsirnya, apakah corak bahasa, hukum, kalam, tasawwuf dan
lainnya.
6. Selain sisi kelebihan yang ada pada kitab tafsir ini, ada
beberapa kekurangan yang cukup jelas. Salah satu keku- rangan tersebut adalah
tidak digunakannya jalur yang dipe- gangi jumhur ulama dan sahib al- sunan,
sehingga sering kali penafsiran Ibn ‘Abbas yang dituangkan dalam Tanwir al-
Miqbas berbeda dengan riwayat Ibn ‘Abbas yang terhimpun di dalam kitab hadis mu‘tabar.