HADIS TARBAWI

Tujuan, cita-cita, dan harapan setiap anak didik sejak kecil perlu ditumbuhkan dalam pendidikan, agar sejak dini anak didik terarah, kemampuan, hobi, dan bakatnya terutama pada jenjang pendidikan yang akan dilaluinya. Setiap aktivitas yang dilakukan manusia harus ada harapan dan tujuan, tak ada manfaatnya sebuah aktivitas tak ada arah tujuan yang dicita-citakan, apalagi berurusan dengan pendidikan. Manusia hidup yang sukses memang harus mempunyai cita-cita, tujuan dan harapan yang menggairahkan semangat kerja, semangat usaha, dan semangat berlatih dan belajar.
Sebagian orang mengatakan, bahwa hidup tanpa cita-cita bagaikan langit tanpa bintang. Cita-cita yang digantung seorang pelajar hendaknya lebih tinggi dan lebih besar, jangan lebih kecil. Cita-cita yang besar inilah yang akan membuat seseorang menjadi besar.
Untuk mendalami hadist tentang tujuan, cita-cita dan harapan bagi pelajar (pencari ilmu) berikut ini akan dipaparkan secara sistematik yaitu cita-cita pelajar, ingin menjadi mukmin yang kuat dan kesuksesan ilmu sehingga menjadi orang yang berguna.








BAB II                                                                                                                  PEMBAHASAN
A.      Hadist Tujuan Pencari Ilmu (Pelajar)
1.         Pengertian Tujuan
Tujuan adalah arahan atau haluan yang menjadi dasar dalam  mencapai sesuatu yang dituju.[1] Segala sesuatu haruslah senantiasa memiliki landasan  niat atau maksud tujuan yang jelas, terencana, dan dapat dicapai dengan usaha yang sungguh-sungguh. Sebagaimana hadist Rasulullah yang berbunyi:
اِنَّمَا الْاَعْمَا لُ بِا النِّيّاَتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِءٍ مَا نَوَى .

“Sesungguhnya segala sesuatu itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan mendapatkan apa yang ia niatkan ”
2.         Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari kata bahasa arab عَلِم artinya mengetahui. Menurut istilah ilmu adalah suatu sifat yang dengan sifat tersebut sesuatu yang dituntut bisa terungkap dengan sempurna.[2]
Adapun pengertian ilmu menurut filsafat yakni akumulasi atau kumpulan pengetahuan yang dapat berasal dari ide, pengalaman, observasi, intuisi, dan yang berasal dari wahyu dalam suatu ajaran agama.[3] Jadi, tujuan menuntut ilmu pengetahuan adalah:
1.         Hadits Pertama

قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّوَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ اِلاَّ لِيُصِيْبَبِهِ
عرضاً مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدِعَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَعْنِي : رِيْحَهَا .( رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ ).
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata Rasulullah saw. bersabda :“ Barang siapa yang mempelajari ilmu pengetahuan yang semestinya bertujuan untuk mencari ridho Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian ia mempelajarinya dengan tujuan hanya untuk mendapatkan kedudukan atau kekayaan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan baunya surga kelak pada hari kiamat.” (HR. Abu Daud).

Penjelasan Hadits
Diantara keutamaan belajar dan mengajar ilmu karena Allah Swt yang diterangkan oleh penulis Rahimahullah adalah dengan mencantumkan hadis dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Saw telah bersabda Barang siapa mempelajari ilmu yang diharapkan dengan ilmu tersebut mendapatkan ridho Allah Swt namun ia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan kekayaan dunia maka ia tidak akan mencium wangi surga di hari kiamat nanti.
Dari penjelasan hadits di atas dijelaskan bahwa orang yang menuntut ilmu yang tidak dilandasi karena Allah maka orang itu tidak akan mencium bau surga di akhirat nanti apalagi memasukinya. Mereka yang menuntut ilmu hanya untuk mencari kedudukan atau harta kekayaan saja tidaklah ada gunanya sama sekali untuk akhirat namun itu hanya berguna di dunia saja. Orang yang mencari ilmu yang tidak berdasarkan niat karena Allah , mereka menganggap bahwa dunia dan mendapatkan harta kekayaan merupakan tujuan utama dalam hidup mereka. Namun, seharusnya menuntut ilmu itu harus berdasarkan niat karena Allah, hanya karena Allah untuk mencapai ridho-Nya agar menyelamatkan dirinya di akhirat kelak. Dari hadist tersebut ilmu terbagi menjadi dua bagian yaitu ilmu agama dan ilmu dunia.[4]
Adapun tujuan menuntut  ilmu pengetahuan menurut Imam Ghazali, yaitu[5]:
1.        Menuntut ilmu sebagai bekal di Akhirat yang  tujuannya karena Allah dan untuk mencapai ridhoNya dan kesalamatannya di Akhirat. Tujuan tersebut termasuk   orang yang beruntung.
2.        Menuntut ilmu dengan bertujuan untuk membantu kehidupan sementara atau menuntut ilmu supaya mengangkat kemuliaan dirinya, kedudukan dan harta dunia namun dia mengetahui bahwa dia menuntut ilmu itu tidak karena Allah, tetapi dia merasakan bahwa dalam tujuannya tidak baik dan  jelek.  Tujuan tersebut termasuk orang yang membahayakan  karena kematianya sebelum dia bertaubat.
3.        Menuntut ilmu dengan dikuasai setan , yaitu tujuannya menjadikan ilmunya sebagai pintu untuk memperbanyak harta dunia dan membanggakan  pangkat, kemuliaan  dan  kekayaan, tujuan menuntut ilmu itu untuk menjadikan ilmunya sebagai jalan untuk  memenuhi apa yang diinginkan dan menyombongkan dirinya kepada Allah dan berpenampilan sebagai ulama dalam berkata, padahal hatinya diselimuti dengan dunia. Tujuan tersebut termasuk orang yang celaka atau binasa.
Adapun tujuan menuntut ilmu pengetahuan, yaitu :
a.         Melaksanakan perintah Allah Swt,
b.         Memperbaiki diri dan akhlak,
c.         Mensyukuri nikmat dari Allah Swt,
d.         Memudahkan dalam kehidupan,
e.         Sebagai petunjuk dalam memutuskan suatu perkara.
  Aspek tarbawi dalam hadits tersebut mengandung perintah untuk belajar dan mengajar terhadap sesama manusia yang dilandasi niat hanya karena Allah yang bertujuan untuk mencari ridho Allah yakni dengan menuntut ilmu. Dengan ilmu maka akan dapat memikirkan alam semesta. Untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat, serta agar mendapat ridho dari Allah Swt dan  memudahkan dalam kehidupan dunia dalam beraktivitas sehari-hari.

2.        Hadits Kedua

مَنْ اَرَا دَالدَّنْيَا فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَ اْلاَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَ كلاَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ.

“Barang siapa yang menginginkan hal ihwal dunia, maka hendaklah ia berilmu, dan barang siapa yang menginginkan hal ihwal akhirat, maka hendaklah ia berilmu juga, dan barang siapa yang hendak kedua-duanya, maka hendaklah (semuanya) berilmu (dengan ilmu) ”.
Dari hadits diatas telah jelas bahwa segala sesuatu itu membutuhkan adanya ilmu. Karena ilmu bagaikan nur atau cahaya yang akan menunjukkan kepada jalan kehidupan yang benar dan lurus. Tanpa ilmu seseorang akan sukar membedakan yang haq dan bathil.[6]
Ilmu laksana pelita yang memberi penerangan bagi kehidupan seseorang. Ilmu yang baik dan dimanfaatkan untuk kebaikan  akan bermanfaat bagi kemaslahaan ummat. Sebaiknya seandainya ilmu tersebut digunakan untuk kejahatan, maka yang timbul hanyalah kerusakan dan petaka pada ummat.
Aspek tarbawi dalam hadits tersebut diatas sangat jelas akan perintah menuntut ilmu pengetahuan dan terlebih menuntut ilmu tentang akhirat. Karena segala hal di dalam kehidupan ini, tidak lepas dari petunjuk ilmu dan pengetahuan yang menjadikan kita tahu akan segala sesuatu.

B.       Definisi Cita-Cita.
Cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang akan masa depanya, ada juga yang mengartikan bahwa cita-cita adalah tujuan hidup dan ada juga yang menganggap cita-cita itu hanyalah mimp ibelaka.
Cita-cita sebagai tujuan hidup di definisikan bahwa cita-cita di jadikan sebagai bahan bakar yang akan terus membakar semangat untuk melangkah maju dengan tujuan hidup yang jelas dan untuk mencapai kesuksesan.
Sebaliknya orang yang menganggap cita-cita adalah mimpi ialah mereka yang sangat merugi. Mengapa demikian? Karena bagi mereka cita-cita tak lebih dari khayalan atau mimpi pengantar tidur tanpa api yang dapat membakar keinginan untuk melangkah maju.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia cita-cita adalah keinginan,harapan,tujuan yang selalu ada dalam fikiran.
Dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa cita-cita adalah suatu keinginan yang selalu di dambakan seseorang, yang muncul dari hati mereka dan tekad untuk mencapai kesuksesan di masadepan.

C.       Tujuan Cita-Cita
Tujuan cita-cita dapat di ibaratkan seperti membangun rancangan bangunan kehidupan seseorang. Tujuanya yaitu bangunan yang tersusun dari batu bata keterampilan, semen ilmu,dan pasir potensi diri.
Di samping cita-cita mempunyai manfaat cita-cita juga mempunyai tujuan.
Tujuan cita-cita adalah sebagai berikut :
1.    Memberikan tujuan dan harapan serta impian hidup.
2.    Sebagai pengarah untuk melangkah maju.
3.    Penyemangat untuk meraih sesuatu.
4.    Sebagai titik focus yaitu kesuksesan hidup

D.      Cita-Cita Pelajar
Dari Abdillah bin Mas’ud berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tidak iri (hasut) yang diperbolehkan, kecuali pada dua orang; seseorang yang diberi kekayaan harta oleh Allah, lalu dikuasakan atas belanjakannya pada jalan kebenaran. Dan seseorang yang diberi hikmah (ilmu yang bermanfaat) oleh Allah SWT, ia amalkan dan ia ajarkannya kepada orang lain”. (HR. Muttafaq Alayh)

Penjelasan Hadits
Hadist ini menjelaskan ada dua hasut (iri hati) yang diperbolehkandalam Islam. Pertama, harta benda seseorang yang didermakan dijalan Allah. Kedua, ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang dan kemudian diamalkan dan diajarkan.[7] Hasut atau iri disini diartikan ghibthah yang diperbolehkan bukan hasut syar’i yang terlarang. Ghibthah artinya sebagai berikut:


Cita-cita seseorang memiliki seperti nikmat ini serta utuhnya nikmat itu bagi pemiliknya.

Berbeda iri atau hasut syar’i yang terlarang, yaitu:


Mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang lain.

Iri ghibthah seperti di atas diperintahkan bagi setiap orang karena termasuk bagian dari berbalap dalam kebaikan, terutama bagi pelajar perlu mempunyai cita-cita yang tinggi supaya dapat memotivasi hidup dalam perjuangan mencapai cita-cita yang tinggi itu. Dalam mendidik anak sejak kecil perlu ditumbuhkan cita-cita, agar dapat mendorong lebih giat belajarnya dan terarah jenjang serta jurusan pendidikan yang akan ditempuh.
Iri ghibthah identik dengan cita-cita atau harapan ingin menjadi orang sukses seperti orang lain yang telah sukses. Cita-cita yang diinginkan konkret karena telah melihat bukti nyata di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist ada dua macam bentuk iri atau cita-cita yang diinginkan, yaitu:[8]
a.        Ingin Menjadi Seseorang yang Sukses dalam Harta
Pada hadist di atas disabdakan Nabi SAW:


“Seseorang yang diberi kekayaan harta oleh Allah, lalu dikuasakan atas belanjakannya pada jalan kebenaran”.
Dalam Bukhari dan Ahmad riwayat Ibnu Umar:


“Ia dermakan sepanjang malam dan sepanjang siang”.

Harta itu didermakan di jalan kebaikan sepanjang waktu, seluruh hartanya baik yang kecil maupun yang besar didermakan di jalan Allah, bukan untuk maksiat dan bukan disia-siakan yang tidak ada manfaat dunia akhirat.
Seseorang boleh berkeinginan menjadi seorang sukses dalam usaha, sukses dalam materi, kemudian ia bisa membelanjakan ke jalan kebaikan dan kebenaran. Dalam Islam harta itu selain dibelanjakan untuk kepentingan pribadi juga kepentingan keluarga secara seimbang dan adil. Harta itu selain dibelanjakan untuk kepentingan keluarga juga untuk kepentingan sosial di jalan Allah. Seseorang ank boleh mempunyai cita-cita ingin menjadi pengusaha yang sukses yang mendermakan hartanya ke jalan kebaikan seperti orang itu. Anak juga boleh mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter, insinyur, menteri, gubernur, dan lain-lain. Harta dan jabatan itu nanti akan dibelanjakan ke jalan kebaikan atau untuk membantu sosial keagamaan seperti membantu pembangunan masjid, pesantren, madrasah fakir miskin, dan yatim piatu.
b.        Ingin Menjadi Seorang Sukses dalam Ilmu
Rasulullah SAW menjelaskan iri yang diperbolehkan kedua sebagai berikut:


“Dan seorang yang diberi hikmah (ilmu yang bermanfaat) oleh Allah SWT, ia amalkan dan ia ajarkan kepada orang lain”.

Cita-cita kesuksesan ilmu dalam hadist di atas jatuh urutan kedua sesuai dengan cita-cita dan keinginan manusia pada umumnya. Mayoritas mereka lebih berpihak ingin sukses dalam materi atau jabatan daripada ilmu, padahal kesuksesan ilmu ini sebagai kunci kesuksesan yang lain termasuk materi juga.
Iri yang diperbolehkan kedua adalah bercita-cita ingin seperti seorang yang diberi ilmu yang banyak dan bermanfaat, diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.

Pelajaran yang Dipetik dari Hadist
a.         Iri hati di sini dimaksudkan ghibthah, yaitu memiliki cita-cita kebaikan seperti yang dimiliki orang lain adalah suatu anjuran dalam agama dan bagian dari berlomba dalam kebaikan.
b.        Anjuran memiliki cita-cita yang tinggi bagi para pelajar agar dapat memotivasi meraihnya dengan belajar yang sungguh-sungguh.
c.         Dengki yang tercela yakni mengharapkan hancurnya nikmat orang lain adalah sebuah penyakit sosial yang berbahaya dan mengancam tegaknya persatuan umat.
d.        Anjuran bersifat murah tidak bakhil terhadap harta yang telah diberikan Allah.
e.         Anjuran mempelajari ilmu yang bermanfaat diamalkan dan diajarkan.

C.       Kesuksesan Ilmu
Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Ingatlah bahwa dunia ini terkutuk, dan semua yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali zikrullah dan sesuatu yang dicintai-Nya, orang alim (orang yang berilmu) dan orang yang belajar ilmu.

Penjelasan Hadist
Hadis ini bimbingan Rasulullah SAW terhadap umatnya, bagaimana bersahabat dengan dunia dan harta benda yang ada di sekitarnya. Dunia dan harta benda tidak seluruhnya membahagiakan manusia dan tidak seluruhnya menyelamatkan manusia dari penderitaan. Oleh karena itu, dunia dan harta benda yang telah dimiliki akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah nanti, dari mana dan untuk apa dibelanjakan dengan dimiliki.
Pada hadist di atas menjelaskan bagaimana kaitannya dengan para pelajar yang menuntut ilmu atau para guru yang mengajarkannya. Bolehkah menuntut ilmu atau mengajarkannya dengan motivasi ingin mendapatkan atau ingin mencapai harta benda didunia.[9]
Rasulullah SAW bersabda:


“Ingatlah, bahwa dunia ini terkutuk, dan semua yang ada di dalamnya juga terkutuk.
Kata ingatlah faedahnya untuk memperkuat isi kalimat setelahnya, agar manusia lebih memerhatikan apa yang akan disampaikan. Maksud dunia ini terkutuk adalah dibenci oleh Allah atau dijauhkan dari rahmat Allah. Demikian juga isinya, seperti kemewahan harta benda, jabatan, dan wanita.
Harta benda pada umumnya menjauhkan Allah, melupakan Allah dan tidak mendamaikan prsaudaraan. Bahkan akan merusak dan membinasakan pemiliknya. Kecuali zikrullah, orang alim (berilmu) dan orang yang belajar ilmu.
Sebagian riwayat seperti periwayatan Ibnu Majah, dunia terkutuk dan tercela kecuali tiga hal sebagai berikut.
1.      Dunia yang disertai zikir kepada Allah, artinya dunia yang mengingat Allah dan dunia yang tidak melupakan perintah Allah.
2.      Sesuatu yang mendekati zikir atau yang dicintai Allah, yakni amal shaleh dan sesamanya seperti menjalankan segala perintah dan menjauhkan segala larangan-Nya.
3.      Orang alim atau orang yang belajar ilnu, maksudnya ilmu yang bermanfaat yakni ilmu yang diamalkan dan diajarkan, diamalkan untuk dirinya dan diajarkan untuk orang lain.
Pelajaran yang Dipetik dari Hadist
1.      Anjuran menuntut ilmu dan mengajarkannya.
2.      Menuntut ilmu dan mengajarkannya untuk bekerja secara profesional dan halal tidak termasuk dunia yang tercela.[10]
3.      Kesuksesan dunia tidak menghalangi keikhlasan dalam menuntut ilmu dan mengajarkannya asal berniat mencari ridha Allah dan untuk kemaslahatan umat.
4.      Menuntut ilmu dan mengajarkannya untuk mencari pekerjaan dunia menjadi terkutuk jika tidak disertai zikir atau melaksankan perintah Allah.
5.      Anjuran mencari kesuksesan dunia dan kesuksesan akhirat secara seimbang.
E.         PengertianHarapan
Harapan dalam kehidupan manusia merupakan cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan supaya sesuatu itu terjadi. Didalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, manusia melibatkan manusia lain atau kekuatan lain diluar dirinya sesuatu terjadi, selain hasil usahanya yang telah dilakuka dan ditungguhasilnya.
Jadi,yang diharapakan itu adalah hasil jerih payah dirinya dan bantuan kekuatan lainnya. Bahkan harapan itu tidak bersifat egosentris berbeda  dengan keinginan yang menurut kodratnya bersifat egosentris, usahanya adalah memiliki. Harapan tertuju kepada “Engkau” sedankan keinginan“aku”, harapan itu ditutunjukkan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan dirinya meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keingingan orang lain. Misalnya melakukan perbuatan sedeqah kepada orang lain: orang lain terpenuhi keinginan dan sekaligus orang yang bersedeah juga terpenuhi keiinginannya, yaitu kebahagiaan sewaktu berbuat baik kepada orang lain.
Menurut macam-macamnya ada harapan yang optimis dan ada harapan yang pesimistis (tipis harapan). Harapan  yang optimis artinya sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara rasioal, bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Dalam harapan pesimis tanda-tanda rasional tidak bakal terjadi.
Harapan itu ada karena manusia itu hidup penuh dengan dinamikanya, penuh dengan keinginannya atau  kemauannya. Harapan untuk setiap orang berbeda-beda kadarnya. Orang yang wawasan berfikirluas, harapannya pun akanluas. Demikian pula orang yang berwawasan pikiran sempit,maka akan sempit pula harapannya.

Besar kecilnya harapan sebenarnya tidak di tentukan oleh luas atau tidak nya wawasan berfikir seseorang, tetapi kepribadian seseorang dapat menentukan dan mengontrol jenis, macam, dan besar kecilnya harapan tersebut. Bila kepribadian seseorang kuat, jenis dan besarnya harapan akan berbeda dengan orang yang kepribadiannya lemah. Kepribadian yang kuat akan mengontrol harapan seefektif seefesien mungkin sehingga tidak merugikan bagi dirinya atau bagi orang lain, untuk masa kini atau untuk masa depan, bagimasa di dunia atau di masa akhirat kelak.
Harapan seseorang juga ditentukan oleh kiprah usaha atau berkerja kerasnya seseorang. Orang  yang berkerja keras akan mempunyai harapan yang besar untuk memperoleh harapan yang besar, tetapi kemampuannya kurang, biasanya disertai dengan bantuan unsur dalam, yaitu berdoa.








BAB III                                                                                                                          PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas,  dapat disimpulkan bahwa didalam menuntut ilmu harus mempunyai suatu niatan, tujuan, maksud yang jelas, tertata, terencana, dan diwujudkan dalam proses yang nyata.
Suatu tujuan akan memberikan gambaran dan menjadi tuntunan sekaligus arahan bagi tercapainya dan terlaksananya niatan dalam menuntut ilmu. Baik dalam menuntut ilmu duniawi, yang dapat bertujuan untuk mencari penghidupan dan bagian dari keduniaan tersebut, sehingga menjadi lebih baik dan meningkatkan nilai semangat dalam beribadah untuk mencapai akhirat dan ridho-Nya. Ataupun menuntut ilmu ukrawi adalah sesuatu yang paling utama. Karena ilmu tersebut akan membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat.
Selain itu seorang pelajar harus memiliki cita-cita dan harapan yang tinggi supaya dapat memotivasi hidup dalam perjuangan mencapai cita-cita yang diinginkan. Dalam hadist yang telah dijelaskan di atas ada dua macam bentuk cita-cita yang diinginkan seorang pencari ilmu, yaitu: ingin menjadi seorang yang sukses dalam harta dan ingin menjadi seorang yang sukses dalam ilmu.
      







DAFTAR PUSTAKA

Tafsir, Ahmad. 2007. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja    Rosdakarya.
Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis Tarbawi: Hadis-Hadis Pendidikan. Jakarta:    Kencana Prenada Media Group.
Falah, Ahmad. 2010. Hadits Tarbawi. Kudus: Nora Media Enterprise.
Saebani,Beni Ahmad dan Hendra Akhdiyat. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung:   CV Pustaka Setia.
Hasbiyallah dan Moh Sulhan. 2015. Hadits Tarbawi. Bandung: PT Remaja        Rosdakarya.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
                         





[1] Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hal. 56.
[2] Ibid., hal. 58.
[3] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 35.
[4] Hasbiyallah dan Moh Sulhan, Hadits Tarbawi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2015), hal. 142.
[5] Ibid., hal. 147.
[6] Ahmad Falah, Hadits Tarbawi, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2010), hal. 204.
[7] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi: Hadis-Hadis Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 161.
[8] Ibid., hal. 162.
[9] Ibid., hal. 172.
[10] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 78.

Postingan populer dari blog ini

Teks ceramah pidato kuliah tujuh menit KULTUM

Biografi Ibnu Abbas dan Tafsir di riwayatkan Fairuzzabaddi