Tauhid Mu'tazilah

PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sebagaiman kita ketahui, banyak sekali firqoh-firqoh yang terjadi dalam Agama Islam. Mereka mengamalkan ajaran yang berbeda-beda dengan mengatas namakan Islam, ajaran ini jelas ada yang menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya, ajaran yang mengutamakan Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utamanya.
Contoh beberapa aliran yang akan dibahas dalam makalah ini yakni aliran Mu’tazilah, dan aliran Syi’ah. Aliran Mu’tazilah adalah aliran yang mempergunakan akal sebagai  sumbernya untuk dapat mengetahui Tuhan. Kemudian aliran Syi’ah yakni aliran yang membawa doktrin dalam, bahwa segala petunjuk Agama bersumber dari Ahl al-Bait, mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari papra sahabat yang bukan Ahl al-Bait atau para pengikutnya.
Firqoh-firqoh tersebut dilatar belakangi oleh politik-politik yang kemudian berdampak pada Agama. Oleh karena itu dirasa perlu untuk memahami syari’at Islam secara mendalam, apalagi pada zaman modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan secara teknik terutama dikalangan pelajar.
Aqidah adalah suatu fudamental dalam Islam, suatu titik dasar awal seorang menjadi muslim, perjuangan ummat Muhammad SAW, adalah tegaknya azas ini, sebaliknya perjuangan ummat kafir menghilangkan atau mengganti azas tersebut.
Dengan demikian dituntut pembenaran hati secara mutlak, sehingga benar-benar mencapai tingkat keyakinan (tidak ada keraguan dan kebimbangan), dan dengannya tercipta rasa aman dan tentram yang disebut nafsul mutmainnah, walaupun dikelilingi bahaya menggunung, badai fitnah dan ujian sangat berat. Namun ia tetap aman dan tenang.











PEMBAHASAN
A.    MU’TAZILAH
a.      Latar Belakang Munculnya Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari ‘Itazala yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri.” Yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Secara istilah ulama mendefinisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qadariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain, dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin ‘Atha dan Amr bin Ubaid pada zaman al Hasan Bashry.
Aliran Mu’tazilah ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid al-Hasan al-Bashri yang bernama Washil bin ‘Atha al-Makhzumi al-Ghazzal. Awalnya nama Mu’tazilah sendiri diberikan oleh orang luar Mu’tazilah, yakni atas dasar ucapan Hasan al-Bashry setelah melihat Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari ”Halaqah” yang diselenggarakan olehnya. Hasan al-Bashry memberi komentar sebagai berikut: “I’tazala Anna” (dia mengasingkan diri dari kami). Akhirnya orang-orang yang mengasingkan diri itu disebut Mu’tazilah, yang dapat diartikan sebagai orang yang mengasingkan diri dari majelis kuliah Hasan al-Bashry.
Sebenarnya, kelompok Mu’tazilah ini telah muncul pada pertengahan abad pertama Hijrah yakni diistilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang Jamal dan perang Siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah. Sedangkan pada abad dua Hijrah, Mu’tazilah muncul karena didorong oleh persoalan Aqidah, dan secara teknis, istilah Mu’tazilah ini menunjukan pada dua golongan, yaitu :
Golongan pertama disebut Mu’tazilah I, golongan ini muncul sebagai respons politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, yakni bermula dari gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang “gerah” terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan ‘Ali. Seperti diketahui, setelah Utsman terbunuh, ‘Ali diangkat menjadi khalifah. Namun pengangkatan ini justru mendapat protes dari beberapa sahabat lainnya. ‘Aisyah, Zubeir dan Thalhah mengadakan perlawanan di Madinah, namun berhasil dipadamkan. Sementara di Damaskus, gubernur Mu’awiyah juga mengangkat senjata melawan ‘Ali. Melihat situasi yang kacau, beberapa sahabat seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Zaid ibn Tsabit bersikap netral. Mereka tidak mau terlibat dalam pertentangan kelompok-kelompok di atas. Sebagai reaksi atas keadaan ini, mereka sengaja menghindar (i’tazala) dan memperdalam pemahaman agama serta meningkatkan hubungan kepada Allah.[1]
Golongan kedua disebut Mu’tazilah II muncul sebagai respons teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah karena peristiwa tahkim. Golongan Mu’tazilah ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Mengenai pemberian nama Mu’tazilah untuk golongan yang kedua ini terdapat beberapa versi, diantaranya:
1.      Versi Asy-Syahrastani mengatakan bahwa nama Mu’tazilah ini bermula pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin ‘Atha serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan al-Bashry di Basrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan al-Bashry di Masjid Basrah, datanglah seorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan al-Bashry tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan al-Bashry masih berfikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya: “saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir , tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak pula kafir.” Kemudian dia menjauhkan diri dari Hasan al-Bashry dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid, disana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan al-Bashry berkata : Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).
2.      Versi al-Baghdadi menyebutkan bahwa Washil bin ‘Atha dan temannya, Amr bin Ubaid, di usir oleh Hasan al-Bashry dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar, keduanya menjauhkan diri dari Hasan al-Bashry dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
3.      Versi Tasy Kubra Zadah berkata bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Bashrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Bashri, setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan al-Bashry, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
4.      Sementara al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan al-Bashry. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat antara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilahtain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.[2]
b.      Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazilah
1.      Wasil bin ‘Atha
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Mu’tazilah, ada ajaran pokok yang dicetuskannya yaitu paham al-Manzilah bain al-Manzilahtain, Posisi tertinggi bagi manusia adalah posisi sebagai mukmin yaitu orang yang menurut Washil bin ‘Atha mengakui dua kalimah syahadat dan tidak melakukan dosa besar atau jika melakukannya kemudian bertobat sebelum meninggal dunia, bagi orang mukmin seperti ini disediakan diakhirat kelak.
Sedangkan posisi yang paling rendah adalah kafir , yaitu orang yang tidak menerima dua kalimah syahadat. Di antara dua posisi ini terdapat posisi Fasiq yaitu orang yang mengakui dua kalimah syahadat tetapi melakukan dosa besar dan tidak bertobat sebelum wafat.
Orang seperti ini tidak dapat dikategorikan sebagai kafir karena masih mengakui dua kalimah syahadat, dan tidak pula disebut mukmin, karena telah melakukan dosa besar. Wasil bin ‘Atha berpendapat bahwa orang mukmin kekal didalam surga dan orang kafir kekal di dalam neraka. Namun menurut pendapat Wasil bin ‘Atha tentang hukuman orang Fasiq, kecuali ada tambahan keterangan dari golongan Asy’ariyah bahwa mereka berada dineraka dan mendapat siksa yang lebih ringan dari pada yang diberikan kepada orang kafir.dari ajaran itu kemudian menjadi doktrin Mu’tazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilahtain
2.      Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang pengikut aliran Wasil bin ‘Atha, ia mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah, Lewat sekolah inipemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang Rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam Ia mengetahui banyak falsafah Yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bercorak Filsafat. antara lain membuat uraian mengenai pengertian Nafy as-Sifat, Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuannya ini adalah Zat-nya, bukan Sifat-nya, Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-nya dan Kekuasaan-nya adalah Zat-nya dan seterusnya, Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-nya itu kadim, Ini akan membawa kepada kemusyrikan, Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk,  Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Kemampuan manusia sendiri, menurutnya berasal dari Allah, dengan demikian al-‘Allaf selalu menyatakan bahwa pengetahuan merupakan produk aktivitas manusia dan kekuasaan Allah yang dianugerahkan menjadi kemampuan manusia terkait dengan proses memperoleh pengetahuan.[3]
3.      An-Nazzam
An-Nazzam pendapatnya adalah mengenai keadilan tuhan, karena tuhan maha adil, ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim, dalam hal ini pendapat lebih jauh dari gurunya al-Allaf, kalau al-Allaf mengatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hambanya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan tidak mempunyai kemempuan untuk berbuat zalim, ia berpendapat bahwa perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian, dan Allah tidak berkuasa berbuat buruk, tetapi ia hanya dapat berbuat sesuatu yang baik untuk hamba-hamba nyaia juga berpendapat mengenai mukjizat al-Qur’an, menurutnya, mukjizat al-Qur’an terletak pada isi kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa) dan balagah (retorika nya).
4.      Al-juba’i
Al-juba’i belajar kepada Abu Ya’kub Yusuf ibn Abdillah ibn Ishaq al-Sahham, salah seorang  sahabat Abu Huzail, dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa al-Juba’i telah menulis karangan-karangannya sebanyak 50.1000 halaman. Sayangnya karangan-karangan tersebut tidak di jumpai.
Kemudian pendapat-pendapat al-Juba’i sebagaimana yang ditulis dalam buku-buku para filosofi antara lain :
1.      Allah mengetahui segala sesuatu diketahui mulai sebelum asal kejadiannya.
2.      Allah mendengar dan mengetahui yang tidak terbatas.
3.      Segala yang diketahui allah akan ada dan pasti ada.[4]
5.      Al- Jahiz
Al- Jahiz dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalisme atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum Mu’tazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, melainkan ada pengaruh hukum Islam
6.      Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri Mu’tazilah aliran Baghdad, pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam, Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi.Adapun al-‘Arad (suatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam, misalanya jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu bukan hasil ciptaan Tuhan.
7.      Bisyr al-Mu’tamar
Bisyr al-Mu’tamarajarannya yang terpenting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia, anak kecil baginya tidak dimintai suatu pertanggungjawaban atas perbuatannya diakhirat kelak, karena ia belum mukalaf, seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8.      Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin Mu’tazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain. Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9.      Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.[5]
c.       Ajaran Mu’tazilah
Ada lima ajaran dasar Mu’tazilah mengenai at-Tauhid (pengesanaan Tuhan), al-Adl  (keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al-Wa’id (janji dan ancaman Tuhan), al-Manzilah Bain al-Manzilatain (posisi diantara posisi),  dan al-Amr bi al Ma’ruf wa an-Nahy’an al Munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
1.      At- Tauhid
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini, akan tetapi, bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik.  Tuhan satu-satunnya Esa, dan tidak ada satu pun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya dia-lah yang qadim. Apabila ada yang qadim lebih dari satu, telah terjadi ta’addud al-qudama’ (berbilangnya dzat yang tidak berpermulaan).
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat seperti penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada satu pun yang menyerupai-nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, dan sebagainya.
2.      Al-adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-‘Adl yang berarti tuhan Maha Adil, Adil adalah suatu atribut yang paling jelas untuk menunjukan kesempurnaan, karena Tuhan Maha sempurna, sudah pasti dia Adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar Adil menurut sudut pandang manusia. Hal ini karena alam semesta diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik, dan bukan yang tidak baik, begitu pula Tuhan itu adil apabila tidak melanggar janji-nya. Dengan demikian, Tuhan terikat dengan janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut :
a.       Perbuatan Manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya, baik atau buruk. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Tuhan hanya menyeruh dan menghedaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan yang dilarang-nya tentulah buruk, konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan Tuhan, yaitu apa pun nanti yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia, yaitu kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan. Itulah keadilan kerena ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa.
b.      Berbuat Baik dan Terbaik
Dalam istilah arab, berbuat baik dan terbaik di sebut ash-Shalah wa al-Ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil, bahkan, menurut an-Nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan Kebijaksanaan, Kemurahan, dan Kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-nya. Artinya, apabila Tuhan tidak bertindak seperti itu berarti ia tidak bijaksana, kasar ataupun kejam.
3.      Al-Wa’d wa al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungan nya dengan ajaran kedua diatas. Al-Wa’d wa al-Aa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil dan Maha Bijaksana, dengan demikian kata Mu’tazilah, tidak akan melanggar janjinya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janjinya. Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan memberi pengampunan pada orang yang bertobat Nasuha pasti benar adanya.
Memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan dosa bagi orang yang durhaka tidak dapat ditawar lagi oleh Tuhan karena sudah dijanjikan. Ini sesuai dengan kebaikan, siapa pun berbuat jahat akan dibalas dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluangbagi Tuhan, selain menunaikan janji-nya, yaitu memberi pahala orang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. tidak ada harapan lagi bagi pendurhaka, kecuali yang telah tobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar. Terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak main-main dengan perbuatan dosa.
4.      Al-Manzilah Bain al-Manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir, bahkan musyrik. Menurut Murji’ah, orang itu tetap mukmin dan dosanya diserahkan kepada Tuhan. Mungkin dosa tersebut diampuni Tuhan. Pendapat Washil bin ‘Atha’ (pendiri mazhab Mu’tazilah) lain lagi. Orang tersebut berada di antara dua posisi ( al-manzilah bain al-manzilatain).
Menurut pandangan Mu’tazilah pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak karena iman menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan, melainkan kedurhakaan. Orang ini tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena masih percaya kepada Tuhan, Rasulnya, dan mengerjakan pekerjaan baik. Hanya, jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya karena di akhirat hanya terdapat dua pilihan, yaitu surga dan neraka. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasiq dimasukan ke neraka hanya siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan “kelas” yang lebih rendah dari mukmin sejati? Tampaknya Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.
5.      Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyeru kebajikan dan melarang kemungkaran, ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, di antaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Ada beberapa syarat harus dipenuhi seorang mukmin dalam ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd al-Jabbar yaitu :
a.ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu ma’ruf dan yang dilarang itu munkar
b. mengetahui bahwa kemungkaran telah dilakukan orang
c. ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi mungkar tidak akan membawa madharat yang lebih besar
d. ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan diri dan hartanya.
Al-ma’ruf adalah yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenara. Lebih spesifik lagi, al-Ma’ruf adalah yang diterima dan diakui Allah. Adapun al-Munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak dierima, atau buruk. Hal tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu dan sesuai dengan keyakinan yang sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma Tuhan.[6]
B.     SYIAH
a.      Latar Belakang Munculnya Syi’ah
Syi’ah secara etimologi berasal dari bahasa arab “Syi’ah”, bentuk tunggal dari “Syi’i”, Syi’ah berarti pembela, pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan secara terminologi dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang ada dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Atau disebut sebagai Ahl-al-Bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama bersumber dari Ahl al-Bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan Ahl al-Bait atau pengikutnya.
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli, menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan, selanjutnya, aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib. Watt menyatakan bahwa Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara ‘Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang Shiffin
Berbeda dengan pandangan diatas, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Utsman bin ‘Affan karena dalam pandangan mereka hanya ‘Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi. Ketokohan ‘Ali dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Pada masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad SAW diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu nabi mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, ‘Ali merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.
Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte Perpecahan yang terjadi dikalangan Syi’ah, terutama dipicu oleh masalah doktrin Imamah. Di antara sekte-sekte Syi’ah adalah Itsna Asyariah, Sabi’ah, Zaidiah, dan Ghullat.
1.      Syi’ah Itsna ‘Asyariah (Syi’ah dua belas/Syi’ah Imamiah)
Nama dua belas (Itsna ‘Asyariyah) ini mengandung pesan penting dalam tinjauan sejarah, yaitu bahwa golongan ini terbentuk setelah lahirnya semua imam yang berjumlah dua belas, kira-kira pada tahun 260 H/878 M. Imam kedua belas, Muhammad al-Mahdi, dinyatakan gaibah oleh para pengikut sekte ini. Muhammad al-Mahdi bersembunyi di ruang bawah tanah rumah ayahnya di Samarra dan setelah itu tidak kembali. Kembali nya Imam al-Mahdi ini selalu ditunggu-tunggu pengikut sekte Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dan ciri khas kehadirannya adalah sebagai “Ratu Adil” yang akan turun pada akhir zaman, oleh karenanya itu, Muhammad al-Mahdi dijuluki sebagai Imam Mahdi al-Muntazhar (yang ditunggu).
2.      Syi’ah Sabi’ah
Istilah Syi’ah Sabi’ah “Syi’ah tujuh” dianalogikan dengan Syi’ah Itsna ‘Asyariah, istilah itu memberikan bahwa sekte Syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh Imam. Tujuh Imam itu ialah ‘Ali, Hasan, Husein, ‘Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, dan Ismail bin Ja’far. Karena dinisbatkan pada Imam ke tujuh yakni Ismail bin Ja’far Ash-Shadiq, maka dari itu Syi’ah ini disebut juga Syi’ah Ismailiyah.
Ada satu sekte dalam Syi’ah Sabi’ah yang berpendapat bahwa Tuhan mengambil tempat dalam diri Imam. Oleh karena itu imam harus disembah, dengan prinsip takwil, Syi’ah Sabi’ah menakwilkan, misalnya ayat Al-Qur’an tentang puasa dengan menahan diri dari menyiarkan rahasia-rahasia Imam, dan ayat Al-Qur’an tentang haji dengan mengunjungi Imam. Bahkan, di antara mereka ada yang menggugurkan kewajiban ibadah. Mereka itu adalah orang-orang yang telah mengenal Imam dan mengetahui takwil (melalui Imam).
3.      Syi’ah Zaidiah
Sekte ini mengakui Zaid bin ‘Ali sebagai Imam V, putra Imam IV, ‘Ali Zainal Abidin. Ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui Muhammad al-Baqir, anak Zainal Abidin yang lain, sebagai Imam V. Dari nama Zaid bin ‘Ali inilah nama Zaidiah diambil. Syi’ah Zaidiah merupakan sekte Syi’ah yang moderat. Bahkan Abu Zahrah menyatakan bahwa Syi’ah Zaidiah merupakan sekte yang paling dekat dengan sunni :
”Syi’ah za-Zaidiyah ini adalah firqah Syi’ah yang paling dekat (tidak banyak menyimpang) kepada ahlus sunnah dan yang paling lurus. Dia tidak mengangkat Imam-Imamnya sampai pada martabat kenabian, bahkan juga tidak dapat mengangkatnya ke martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap Imam-Imam itu seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka seutama-utama orang sesudah Rasulullah SAW, mereka tidak mengkafirkan seorang pun di antara sahabat-sahabat nabi dan terutama orang  (Abu Bakar ra, Umar ra, dan Utsman ra) yang di bai’at oleh ali mengakui keimanannya”.[7]
Penganut Syi’ah Zaidiah percayabahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiah sekat dengan Mu’tazilah. Mengingat kedekatan aliran ini dengan Mu’tazilah, Washil bin ‘Atha, dengan Zaid. Moojan Momen bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Washil bin ‘Atha.
Meskipun demikian, dalam bidang ibadah, Zaidah tetap cenderung menunjukkan simbol dan amalan Syi’ah pada umumnya. Dalam azan misalnya, mereka memberi selingan ungkapan hayya ‘ala khair al-amal, takbir sebanyak lima kali dalam shalat jenazah, menolak Imam yang tidak saleh.
4.      Syi’ah Ghulat
Istilah “Ghulat” berasal dari kata Ghala-Yaghlu-Ghuluw, artinya ‘bertambah” dan “naik”. Ghala bi ad-din artinya memperkuat dan menjadi ekstrem sehingga melampaui batas. Syi’ah Ghulat berarti kelompok pendukung ‘Ali yang memiliki sikap berlebihan atau ekstrem, Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syi’ah ekstrem (Ghulat) adalah kelompok yang menepatkan ‘Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari Muhammad. Dan mereka berpendapat Tuhan berada di setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi'ah Ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri Imam sehingga Imam harus disembah.[8]
b.      Tokoh-Tokoh Aliran Syi’ah
Dalam aliran Syi’ah, selain terdapat tokoh-tokoh populer seperti ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan bin ‘Ali, Husain bin ‘Ali, terdapat pula dua tokoh Ahl-al-Bait yang mempunyai pengaruh dan andil yang besar dalam pengembangan paham Syi’ah, yaitu Zaid bin ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin dan Ja’far al-Shadiq
Selain dua tokoh di atas terdapat pula beberapa tokoh syi’ah, di antaranya :
a.       Nashe bin Muhazim
b.      Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa al-Asy’ari
c.       Ahmad bin AbiAbdillah al-Barqi
d.      Ibrahim bin Hilal al-Tsaqafi
e.       Muhammad bin Hasan bin Furukh al-Shaffar
f.       Muhammad bin Mas’ud al-‘Ayasyi al-Samarqandi
g.      Ali bin Babaweah al-Qomi
h.      Syaikhul Masyayikh, Muhammad al-Kulaini
i.        IbnAqil al-‘Ummani
j.        Muhammad bin Hamam al-Iskafi
k.      Muhammad bin ‘Umar al-Kasyi
l.        IbnQawlawaeh al-Qomi
m.    Aayatullah Ruhullah Khomeini
n.      Al-‘Allamah Sayyid Muhammad Husain al-Thabathaba’i
o.      Sayyid Husseyn Fadhlullah
p.      Murtadha Muthahhari
q.      ‘Ali Syari’ati
r.        JalaluddinRakhmat
s.       Hasan Abu Ammar
d. Ajaran Syi’ah
Ajaran Syi’ah adalah ajaran yang bertentangan dengan ajaran Islam, yang mana telah terbukti menodai dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dari Syari’at Islam. Adapun ajaran-ajaran sesat Syi’ah sebagai berikut.
1.      Menyimpangkan Tafsir Al-Qur’an
@ä.>äóÓx«î7Ï9$ydžwÎ)¼çmygô_ur4ã&s!â/õ3çtø:$#Ïmøs9Î)urtbqãèy_öè?ÇÑÑÈ
Artinya :“tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS Al-Qashas 28 : 88).
Imam Shadiq as dalam menafsirkan ayat, “segala sesuatu akan musnah, kecuali wajah Allah...” berkata, “yang dimaksud dengan wajah Allah dalam ayat ini adalah Ali as, Sedangkan Ahlu Sunnah memahami bahwa yang dimaksud dengan wajah dalam ayat diatas adalah Allah SWT dan bukan Ali.
2.      Memandang Ali Adalah Ibadah
Bukanlah tanpa dalil bahwa namanya diambil dari nama Allah, pikiran dia adalah pkiran Allah hingga jika memandangnya maka dinilai sebagai perbuatan ibadah kepada Allah.
3.      Ali Adalah Penghitung Amal Perbuatan Manusia di Hari Kiamat
Keimanan dan perbuatan kaum mukmin haruslah sesuai dengan keimanan dan perbuatan imam Ali as. Melalui perhitungan ini, salah satu makna dari “neraka” dihari kiamat adalah imam Ali as. Imam Ali as adalah penghitung amal perbuatan di hari kiamat
4.      Menyelewengkan Tafsir Ayat-Ayat Al-Qur’an
¼çm¯RÎ)urþÎûÏdQé&É=»tGÅ3ø9$#$uZ÷ƒt$s!;Í?yès9íOŠÅ3ymÇÍÈ                                                                                                          
Artinya :”dan Sesungguhnya Al Quran itu dalam Induk Al kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar Tinggi (nilainya) dan Amat banyak mengandung hikmah.(az-zukhruf 43 : 4).
Mereka menafsirkan “dan sesungguhnya dia (ali as) dalam induk al-kitab (lauhul-mahfuzh) di sisi kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.”
5.      Ali Adalah Penyeru di Hari Kiamat
Sebagaiman dalam firman allah SWT :
#yŠ$tRurÜ=»ptõ¾r&Ïp¨Ypgø:$#|=»ptõ¾r&Í$¨Z9$#br&ôs%$tRôy`ur$tB$tRytãur$uZš/u$y)ymö@ygsùN?y`ur$¨BytãuröNä3š/u$y)ym((#qä9$s%óOyètR4tb©Œr'sù8bÏiŒxsãBöNæhuZ÷t/cr&èpuZ÷è©9«!$#n?tãtûüÏJÎ=»©à9$#ÇÍÍÈ
Artinya :“dan penghuni-penghuni surga berseru kepada penghuni-penghuni neraka (dengan mengatakan): "Sesungguhnya Kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan Kami menjanjikannya kepada kami. Maka Apakah kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu menjanjikannya (kepadamu)?" mereka (penduduk neraka) menjawab: "Betul". kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: "Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim.” (Al-A’raf 07 : 44).
Namun ayat di atas di tafsirkan oleh Syi’ah bahwa “kemudian seorang penyeru mengumumkan di antara kedua golongan itu :”kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim.” Imam Ali as adalah seorang penyeru di hari kiamat, yakni menetapkan siapa yang akan menjadi penghuni neraka dan siapa yang akan menjadi penghuni kebaikan (surga).
6.      Membolehkan Shalat dalam Keadaan Telanjang
Dari imam Shadiq AS dia berkata, “Imam Shadiq AS ditanya tentang seorang lelaki yang keluar telanjang, kemudian datang waktu shalat, beliau berkata, “ia shalat telanjang dengan berdiri bila tidak ada yang melihatnya, dan dengan duduk bila ada yang melihatnya.”[9]



KESIMPULAN
Aliran Mu’tazilah timbul dari suasana politik pada peristiwa tahkim di zaman Khlifah ‘Ali, lalu dari peristiwa itu menjurus kepada bidang teologi. Mu’tazilah menampakan diri setelah adanya dua sikap paham teologi sebelumnya yakni Khawarij dan Murji’ah yang banyak membicarakan tentang pembuat dosa besar.
Washil bin ‘Atha pendiri dari tokoh utama dari aliran Mu’tazilah serta peletak dasar aliran yang dikenal dengan Ushul al-Khamsah, kaum Mu’tazilah (kaum rasionalis Islam), mereka memiliki lima ajaran dasar yaitu al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’du wa al-Wa’id, al-Manzilah bain al-Manzilatain, dan al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar.
Ajaran Syi’ah telah terbukti menodai dan mencemari agama Islam karena mengajarkan ajaran yang menyimpang dari syari’at Islam, karena Syi’ah telah mengingkari tiga dari rukun iman yang enam yaitu:
1.      Tidak percaya kepada malaikat-malaikatnya
2.      Tidak percaya kepada kitab-kitabnya
3.      Tidak percaya kepada Qada dan Qadar dari Allah SWT
Perlu kita ketahui bahwa mengingkari salah satu dari rukun Iman yang enam dinyatakan sesat, maka pihak Syi’ah ini bukan salah satu dari rukun Iman yang enam saja mereka ingkari, tetapi tiga yaitu setengah dari rukun Iman mereka ingkari, berarti ini bukan sesat lagi tetapi sudah keluar dari Islam (kafir) yaitu agama yang berdiri sendiri yaitu agama Syi’ah.



DAFTAR PUSTAKA
Imron, Ilmu Kalam, Yogyakarta : Idea Press, 2013. hlm 85.

Hedhri Nadhiran, Hasan Hanafi dan Pemikiran Kalam (Rekontruksi Epistemologi Keilmuan Kalam dan Tantangan Modernitas),Yogyakarta : Idea Press, 2014. hlm. 38.

Ris’an Rusli. Teologi Islam Telaah Sejarah dan PemikiranTtokoh-Tokohnya. Tunas Gemilang Press. Palembang. 2014.


Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia, 2012.

Sahilun. Pemikiran Kalam (TeologiIislam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali, 2012.

Sahal Mahfudh. Kesesatan Aqidah dan Ajaran Syi’ah di Indonesia. Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia : Jakarta. 2007.




[1]Imron, Ilmu Kalam, Yogyakarta : Idea Press, 2013. hlm 85.
[2]Ibid. hlm. 86-87
[3]Hedhri Nadhiran, Hasan Hanafi dan Pemikiran Kalam (Rekontruksi Epistemologi Keilmuan Kalam dan Tantangan Modernitas),Yogyakarta : Idea Press, 2014. hlm. 38.
[4]Ris’an Rusli. Teologi Islam Telaah Sejarah dan PemikiranTtokoh-Tokohnya. Tunas Gemilang Press. Palembang. 2014.
[5] https://waskitozx.wordpress.com/Makalah/Makalah-Pendidikan-Islam/Makalah-Akidah/Aliran-Mutazilah-Sejarah-Tokoh-dan-Ajaranya/
[6]Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Bandung : Pustaka Setia, 2012
[7]Sahilun. Pemikiran Kalam (TeologiIislam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, Jakarta : Rajawali, 2012.
[8]Ibid. hlm. 115-129.
[9]Sahal Mahfudh. Kesesatan Aqidah dan Ajaran Syi’ah di Indonesia. Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia : Jakarta. 2007.

Postingan populer dari blog ini

HADIS TARBAWI

Teks ceramah pidato kuliah tujuh menit KULTUM

Biografi Ibnu Abbas dan Tafsir di riwayatkan Fairuzzabaddi