PRO KONTRA HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
Abstrak
Para ilmuan
atau ulama tidak banyak mempertentangkan bahwa "ilmu itu bebas
nilai". Makna dari ungkapan ini paling tidak menyimpulkan akan kenetralan
sutu ilmu, teori, metodologi atau seperangkat pengetahuan lainnya. Kebenaran
tidak pernah memihak, hanya obyektifitaslah yang dituntut di dalamnya. Hal ini
tampaknya, tidak sepenuhnya berlaku bagi hermeneutika, yang tidak lain sebagai
metodologi untuk memahami suatu teks –termasuk teks keagamaan. Banyak
pertentangan yang mengemuka ketika hermeneutika hendak digunakan dalam memahami
teks keagaman khususnya terhadap teks keagamaan Islam. Gelombang penolakan itu
muncul dari kalangan Islam yang memandang hermeneutika sebagai produk
non-muslim atau orang kafir dan merupakan alat untuk memahami Bibel dan tradisi
intelektual Kristen. Problema ini lebih menarik lagi, ketika dibandingkan
dengan filsafat –yang konon berasal dari Yunani, yang notebene Kristen atau
Barat. Tetapi perjalanan filsafat untuk masuk ke dunia pemikiran Islam tidak
sesulit hermeneutik.
Kata Kunci:
Hermeneutika,
al-Qur’an
Pendahuluan
Salah satu
tema krusial yang kemudian melahirkan kontroversi di kalangan masyarakat muslim
adalah Hermeneutika. Alasan yang muncul ke permukaan adalah bahwa menurut
mereka istilah ini berasal dari Barat dan merupakan cara menafsirkan bible
(injil). Agak sulit dimengerti jika penolakan terhadap hermeneutika tersebut
hanya didasarkan pada bahwa ia berasal dari Barat. Karena sesungguhnya kita
telah menerima begitu banyak istilah asing, non Arab termasuk dari negeri Barat
seperti demokrasi, pluralitas, nasionalisme dan lain-lain. Istilah-istilah ini
bahkan telah menjadi sistem kehidupan di negeri kita. Pada sisi lain masyarakat
kita juga telah mengkonsumsi produk-produk negara asing tersebut. Akan lebih
arif jika ia dipahami maknanya lebih dulu lalu dikritisi dengan cara-cara yang
lebih santun dan ilmiah.
Argumentasi
penolakan tersebut misalnya, karena hermeneutika yang semula merupakan tradisi
interpretasi Bibel, telah disusupkan secara ilegal dalam tradisi keilmuan Islam
dan diaplikasikan untuk menggantikan metode tafsir Al-Qur`an. Sebaliknya
tradisi Islam yang asli (genuine) seperti metode penafsiran Al-Qur`an
dan tafsir-tafsir klasik menjadi sasaran hujatan dan penistaan serta mau
dibuang begitu saja layaknya sampah. Padahal, hermeneutika semestinya dikaji
dengan cermat, tidak ditelan bulat-bulat tanpa menggunakan otak, atau
menggunakan otak tapi telah tercemar dengan polusi ideologi Barat yang kafir
(kapitalisme-sekular). Karena sebenarnya hermeneutika bukan produk tradisi
keilmuan Islam, melainkan berasal dari tradisi Yahudi/Kristen, yang di kemudian
hari diadopsi oleh para teolog dan filsuf Barat modern menjadi metode
interpretasi teks secara umum
Meskipun
bermunculan komentar yang keberatan menjadikan hermeneutika sebagai salah satu
sarana memahami kajian teks dalam Islam, kecenderungan akan "demam"
hermeneutika terus bergulir. Ini seiring dengan ungkapan Amin Abdullah, bahwa
hermeneutika telah menjadi salah satu pemikiran yang laku keras di berbagai
perguruan tinggi Islam, khususnya ketika diedarkan di UIN dan IAIN. Banyak
pelanggan telah mengkonsumsi pemikiran Barat tersebut lalu merasa ketagihan.
Ini dikarenakan hermeneutika menstimulir munculnya rasa bangga lagi hebat pada
jiwa pecandunya, seakan-akan menawarkan sesuatu yang baru, segar, dan
spektakuler. Maka hermeneutika dianggap suatu keniscayaan bagi siapa saja.
Sementara yang tidak berhemeneutika ria, dikecam dengan berbagai stigma
negatif. Misalnya dianggap "mau benarnya sendiri", atau penafsirannya
disudutkan sebagai "kesewenang-wenangan penafsiran" (interpretif
despotism).[1]
Berkaitan
dengan beberapa perbincangan di atas, tulisan ini berusaha menelusuri beberapa
pokok kajian yang berkaitan dengan hermeneutika, dari sisi pandangan masyarakat
muslim yang setuju dan yang menolaknya sebagai sarana pembacaan teks-teks
keislaman – khususnya al-Qur'an dan hadits - dengan berbagai sistem yang ada di
dalamnya. Pembahasan akan diakhiri dengan kesimpulan. Kajian ini diharapkan
dapat menempatkan hermeneutika pada posisi yang sebenarnya.
Apa
Hermeneutika Itu?
Hermeneutika
secara umum dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang
interpretasi makna.[2]
Upaya ini memperhitungkan konteks kata-kata dan bahkan seluruh konteks budaya
pemikiran. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja bahasa Yunani,
hermeneuin, dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan hermeneutic,
yang berarti menafsirkan, menterjemahkan, dan menginterpretasikan.[3]
Dalam kajian Islam, kata sinonimnya adalah tafsir, takwil, syarh, dan bayan.
Ali Harb memberi kata padanan untuk hermeneutika dengan takwil.[4]
Kata bendanya hermeneia. Akar kata itu dekat dengan nama dewa Yunani
yakni Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan
Jupiter kepada manusia. Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian
manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Peranan semacam itulah yang
kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli tafsir Kitab Suci.[5]
Dalam The
New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika adalah studi
tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the
study of the general principal of biblical interpretation). Tujuan dari
hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.
Dalam sejarah interpretasi Bible, ada empat model utama interpretasi Bible,
yaitu : pertama, literal interpretation (interpretasi sesuai
makna yang jelas, mengikuti aturan tatabahasa dan konteks sejarahnya); kedua,
moral interpretation (interpretasi berdasarkan nilai-nilai etik); ketiga,
allegorical interpretation (interpretasi mengunakan makna alegoris
(kiasan), tanpa mengabaikan makna literalnya, tetapi makna literal dianggap
rendah dan perlu diangkat menuju makna kiasannya); dan keempat; anagogical
interpretation (interpretasi dengan mencoba mencari makna-makna mistis dari
angka-angka dan huruf Hebrew). Dari model-model ini, yang menjadi arus utama
sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model
alegoris (model Alexandria).[6]
Sebelumnya,
hermeneutika merujuk pada teori dan praktik penafsiran. Ia adalah sebuah
kemahiran dalam diri seseorang dalam menggunakan instrumen sejarah, filologi,
manuskrip-teologi, dan sebagainya. Kemahiran ini secara tipikal dipergunakan
untuk memahami teks-teks yang terkait dengan waktu, cultural, atau fenomena
sejarah. Pada masa sekarang hermeneutika dijadikan landasan penafsiran terhadap
teks, yang bila dikaji lebih jauh memiliki dua pendekatan yakni linguistic dan
fenomenologi.[7]
Pada
awalnya hemerneutika digunakan oleh mereka yang berhubungan dengan kitab suci
(baca injil) dalam menafsirkan kehendak tuhan kepada manusia. Inilah yang
kemudian dikenal dengan ilmu tentang menginterpretasi kitab suci. Akan tetapi
tentunya hermeneutika tidak hanya digunakan sebatas untuk memahami kandungan
kitab suci semata, tetapi berbagai disiplin keilmuan. Richard E. Palmer,
sebagaimana dikutip oleh Muzairi memetakan hermeneutik sebagai teori penafsiran
kitab suci, sebuah metode filologi, ilmu pemahaman linguistic, sebagai pondasi
ilmu kemanusiaan, fenomena das sein dan pemahaman eksistensial, serta
sistem penafsiran.[8]
Perkembangan
selanjutnya, hemerneutika dikenal sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti. Aristoteles pernah menyatakan bahwa kata-kata
yang kita ucapkan adalah symbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang
kita tulis adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana
terdapat kesamaan bahasa tulisan seseorang dengan yang lain, demikian pula
sebaliknya. Akan tetapi pengalaman yang ia simbolkan itu sama seperti yang ada
pada kebanyakan orang, sebagaimana imajinasi kita untuk menggambarkan
sesuatu.[9]
Jelaslah bahwa hermeneutika berhubungan dengan bahasa. Kita berpikir melalui
bahasa, berbicara, dan menulis dengan bahasa. Kita mengerti dan membuat
interpretasi dengan bahasa. Bahkan semua sisi kehidupan ini tidak terlepas dari
bahasa. Sebab itulah keberadaan hermeneutika tidak terlepas dari pertumbuhan
dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan
lainnya.
Dalam
diskursus Islam, hemermeneutik adalah tafsir, takwil, bayan, syarh
dan sebutan lainnya. Dalam kajian ushul al-fiqh cara atau teori memahami atau
menafsirkan teks-teks al Qur-an, hadits atau sumber lainnya dikenal dengan
istilah “al-istidlal bi al-alfazh”. Di kalangan ulama tafsir telah
melahirkan tradisi penafsiran al-Qur'an yang luar biasa, yang kemudian dikenal
dengan ilmu tafsir. Kecenderungan mereka berkonsentrasi pada pengembangan
berbagai kaidah untuk menemukan kandungan teks berdasarkan masa dan tempat
turunnya. Dalam analisis tradisional yang lebih menekankan pada aspek lafad
atau teks.[10]
Pada perkembangan selanjutnya sistem ini selalu terjaga dan dianggap sebagai
sebuah pendekatan yang menghasilkan pemahaman yang benar. Pemahaman ini pada
akhirnya dianggap suatu kebenaran yang absolut (despoteisme). Asumsi
inilah belakang dianggap sebagai suatu penyelewengan dan tidak sesuai dengan
logika hukum Islam. Jika demikian, berarti ia telah mengunci teks dalam makna
tertentu, berarti itu telah merusak integritas pengarang dan teks tersebut
sekaligus. Demikian komentar dari Khaled M. Abou el Fadl, dengan memberikan
kesimpulan itu sebagai bentuk kelaliman.[11]
Kajian
hermeneutika memandang bahwa sebuah kalimat, apapun bentuknya, selalu
mengandung tiga hal: orang yang menyampaikan atau mengatakannya (mutalaffizh/mutakallim,
pengarang), bahasa itu sendiri (teks/'ibarah) dan orang yang diajak
bicara, penerima atau pembaca (mutalaqqi/sami', pembaca). Inilah
prinsip-prinsip yang ada dalam analisis Hermeneutik.[12]
Dengan ungkapan lain di dalam hermeneutika, terdapat tiga unsur yang ikut
terlibat di dalamnya, yaitu unsur author (pengarang), unsur teks dan
unsur reader (pembaca). Unsur-unsur tersebut memiliki peran dan fungsi
masing-masing yang tidak dapat ditinggalkan antara satu dengan lainnya. Bila
satu unsur diabaikan dari lainnya, maka yang terjadi adalah penyelewengan dalam
pemahaman. Dalam kaitan dengan pembacaan teehadap khazanah keislaman –
khususnya al-Qurán – maka unsur teks berarti nash syar’i yakni al-Qur’an dan
hadits, unsur pengaranng di sini adalah Allah dan ‘”Rasululllah”, dan unsur
pembaca adalah umat Islam.
Hermenutika
terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu teori hermeneutika (hermeneutika theory),
filosofi hermeneutika (hermeneutika philosophy), dan hermeneutika
kritis. Hermenutika theory memuat aturan metodologis untuk mengantarkan
kepada pemahaman yang diinginkan pengarang. Sasarannya ialah untuk meraih makna
yang tepat dari teks. Dalam klasifikasi ini, hermeneutika merupakan acuan yang
mengantarkan pada pemahaman yang akurat dan proporsional. Harapannya ialah
pemahaman yang komprehensif dengan mempertimbangkan konteks. Makna teks dikaji
dari berbagai sisi, baik morfologis, leksiologis, dan sintaksisnya. Keberadaan
teks dipertanyakan asal usul, tujuan, dan kondisi yang melingkupi pengarangnya.
Hermeneutika
philosophy bertujuan untuk menggali asumsi epistemologis dari
pemahaman dan lebih jauh lagi ke dalam aspek sejarah, tidak sekadar pada
tataran pemahaman teks, tetapi juga pengarang dan dunia pembacanya. Fakus
perhatian lebih jauh dari jenis hermeneutika di atas, yakni apa kondisi orang
yang memahami teks itu, baik sisi psikologis, sosiologis, historis, filosofis
dan lainnya. Kecenderungan ini mengarah kepada epistemologi pemahaman.
Sedangkan hermeneutika kritis merupakan pengembangan dari kedua jenis hermeneutika
di atas meskipun kajian obyek formalnya adalah sama. Letak perbedaannya ialah
penekanannya, di mana jenis ketiga ini lebih terfokus kepada
determinasi-determinasi tersebut memunculkan alienasi, diskriminasi dan
hegemoni wacana termasuk di dalamnya penindasan dalam kehidupan
sosial-budaya-politik akibat pemaksaan pemahaman oleh kelompok tertentu. [13]
Hermeneutika
dalam Perspektif Pemikir Muslim
Hasan
Hanafi dikenal sebagai orang pertama mengenalkan
hermeneutika dalam dunia Islam dengan karyanya yang berkaitan
dengan metode penafsiran yang bercorak baru. Pengenalan ini pada awalnya hanya
merupakan penggunaan metodologis bersifat uji coba yang terbebas dari pengaruh
positivisme dan kekhasan hukum Islam serta yurisprudensinya yang ortodoks
dan tradisionalis. Ia memandang bahwa hermeneutika bukan hanya sekadar teori
penafsiran dan pemahaman, akan tetapi merupakan ilmu yang menerangkan
penerimaan wahyu sejak perkataan sampai pada tingkat kenyataan, serta
menggambarkan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.[14]
Proses pemahaman teks ini menurut Hasan Hanafi dilakukan setelah melakukan
kritik kesejarahan. Kritik kesejarahan dilakukan untuk menjamin keaslian sebuah
teks atau kitab suci dalam sejarah sebab belum tentu semua teks asli atau tidak
mengalami distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Keaslian ini akan
mempermudah pemahaman yang tepat.
Tokoh lain
adalah Nashr Hamid Abu Zaid yang telah banyak mengkaji hermeneutik dalam
tafsir klasik, sebagaimana yang dilakukan oleh 'Abid al-Jabiri. Abu Zaid banyak
memberikan pijakan dasar dalam memahami hermeneutika khususnya berkaitan dengan
al-Qur'an. Bahkan beberapa tulisannya dianggap sebagai horizon baru dalam
hermeneutika al-Qur'an kontemporer. Ia seorang yang akrab dengan pemikiran para
tokoh hermeneutika Barat, seperti Heidegger dengan teori hermeneutikanya, Hans
George Gadamer dengan hermeneutika filosofisnya, Schleiermacher dengan
lingkaran hermeneutikanya, dan lainnya. Akan tetapi ia tidak meninggalkan
kekayaan tradisi Islam yang dapat memelopori pembaharuan dan pemikiran
kritisnya.[15]
Ali Harb
merupakan tokoh yang ikut meramaikan diskusi panjang tentang kritik teks,
meskipun ia tidak sepenuhnya memperhatikan sastra ataupun seni tetapi lebih
menekankan kepada ihwal pemikiran.[16]
Sekalipun di dalam melakukan kritik teks dan pemikirannya banyak menggunakan
teori sastra terutama berkenaan dengan teori teks, di samping filsafat.
Permikirannya lebih cenderung kepada permasalahan keterpurukan umat Islam,
khususnya pemikiran di dunia Arab dalam menyikapi kemajuan. Ia banyak menyoroti
pola pemikiran dunia Arab kontemporer yang masih berkutat dalam
kerangka kultural, nasional, ataupun keagamaan.
Tokoh Islam
yang memiliki kemiripan dengan Ali Harb ialah Muhammad Syahrur dalam hal
memandang kemunduran dan ketertinggalan dunia Arab-Islam dengan Barat karena
sistem pemikiran yang digunakan tidak mampu mengeluarkannya dari kejumudan dan
taklid. Hal serupa disampaikan oleh Khaled M. Abou el-Fadl yang menyoroti para
penafsir periode terdahulu telah melahirkan mateode penafsiran yang cenderung
berkonsentrasi pada upaya pengembangan berbagai kaidah untuk memecahkan makna
teks berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Pelaksanaan ini berkutat pada
asumsi bahwa setiap runtutan huruf, kata, dan kalimat merupakan sesuatu yang
telah matang dan benar, tidak mungkin Tuhan salah di dalam peletakaknnya,
sehingga pemahamannya harus berangkat dari susunan kalimat tersebut. Di sinilah
letak kekakuan dalam memberi interpretasi suatu ayat, lebih-lebih berkaitan
dengan hukum. Sehingga hokum yang dihasilkan hanya meliputi maksud asal teks
untuk melayani teks, bukan dalam rangka memberi jawaban persoalan kehidupan
dengan berdasarkan teks.[17]
Jika demikian maka keberadaan al-Qur'an belum mampu memberikan hidayahnya
kepada umat manusia yang membutuhkan penerangan hukum.
Berikut ini
akan dipaparkan dua pandangan tokoh Islam yang dikelompokkan kepada kiri Islam
yakni Nashr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Syahrur tentang hemerneutika. Hal ini
dimaksudkan untuk lebih mengkhususkan pembahasan.
a. Nash
Hamid Abu Zaid
Nashr Hamid
Abu Zaid, seorang Profesor bahasa Arab dan Studi al-Qur’an di Universitas Kairo
Mesir. Ia juga menjadi dosen tamu di Universitas Leiden Belanda, sejak tahun
1995 sampai sekarang. Intelektual asal Mesir ini berupaya menerapkan metode
analisis teks bahasa-sastra (nahj tahlil an-nushush al-lughawiayyah
al-adabiyyah) ketika mengkaji al-Qur'an. Ia berpendapat metode tersebut
satu-satunya yang dinilai manusiawi dan berarti untuk mengkaji Islam.[18]
Menurutnya Peradaban Islam dapat dikatakan sebagai peradaban teks karena terfokus
pada teks (al-Qur’an) inilah peradaban Islam bergulir. Dengan demikian perlu
adanya dialektika yang kontinu antara teks (al-Qur’an) dan kebudayaan manusia
yang senantiasa berkembang secara pesat.
Paparan Abu
Zaid di atas diperkuat oleh ungkapan Muhammad Arkoun, yang menyatakan bahwa
sebuah tradisi – termasuk Islam yang di dalamnya berlandaskan nilai al-Qur’an –
akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara kontinu melalui
pengkajian ulang sejalan dengan dinamika sosial.[19]
Untuk itulah pemahaman terhadap al-Qur’an dengan berbagai metode sesuai
sosial-budaya yang melingkupinya perlu terus dilakukan sebagai inspirasi
pemikiran, pergerakan dan perilaku keagamaan. Ia menilai para ulama berlebihan
di dalam menyikapi teks, sehingga pada hasilnya membawa pemahaman yang
dikotomis antara teks dan realitas. Penilaian yang sakral terhadap teks
berdampak pada penafsiran dan pemahamannya, sementara realitas yang ada
seringkali dilupakan. Ini melahirkan suatu klaim kebenaran oleh individu,
kelompok, atau madzhab tertentu ketika memahami teks.
Di dalam
pemahaman teks, ia menggunakan dua pendekatan, yakni semiotika dan
hermeneutika. Dua metode pendekatan inilah yang kemudian menghasilkan
kesimpulan bahwa al-Qur’an merupakan produk budaya (cultural product, al-muntaz
ats-tsaqafi).[20]
Inilah yang membuat ia dinilai sebagai tokoh kontroversial sehingga masyarakat
Mesir pada awalnya menolak dan sempat hendak mengusirnya, atau bahkan menilai
kafir. Sebelum memunculkan kesimpulan tersebut, ia memiliki pandangan tentang
dua fase teks al-Qur’an yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas
sosial budayanya. Fase tesebut ialah (a) fase keterbentukan (marhalah
at-Tasyakkul), pada fase ini teks masih mengkonstruksi dirinya secara
struktural dalam sistem budaya yang ada; (b) fase pembentukan (marhalah
at-tasykil) Pada fase ini terk al-Qur’an membentuk dan mengkonstruk
ulang budaya dengan sistem bahasa khusus yang berbeda dengan bahasa
induknya yang kemudian mempengaruhi sistem kebudayaan.[21]
Ia mulai
mengenal teori-teori hermeneutika ketika "ngaji" di Universitas
Pennsylvania, Philadephia antara tahun 1978-1980. Ia mengakui hermeneutika
telah membuka cakrawala pemikirannya, di mana ia bersentuhan langsung dengan
karya filsafat dan hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks yang ada.
Setelah lama berkecimpung dengan literature hermeneutika Barat, Ia lalu
membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam kajian
hermeneutika.[22]
Al-Qur'an, menurut Abu Zaid adalah Kalam Allah dalam wujud bahasa manusia, ini
sebagai tujuan Allah agar maksud dan harapannya dapat dimengerti oleh
manusia. Menurutnya, Kalam Allah itu perlu mengadaptasi dengan bahasa
manusia, jika tidak maka manusia tidak akan mampu mengetahui maksud Sang
Pemberi Kalam itu. Dan sebenarnya al-Qur'an merupakan hasil riwayat Nabi
Muhammad saw. Teks al-Qur'an ketika diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw.
Merupakan teks Ilahi menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi, karena ia
berubah dari tanzil menjadi takwil. Jadi teks al-Qur'an adalah
pemahaman Rasulullah saw. Atas apa yang diterimanya dari pewahyuan tersebut.[23]
Dengan bahasa lain, bahwa al-Qur'an merupakan produk budaya, budaya Arab kala
itu yang dipahami oleh Nabi Muhammad saw. Dari sini dapat dipahami bagaimana
Abu Zaid cukup terpengaruh dengan apa yang ditemukannya dalam diri Hermes yang
berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang
dimengerti manusia. Dan inilah yang dikhawatirkan oleh kalangan Muslim lain
yang menolak hermeneutika sebagai metode pemahaman al-Qur'an.
Dengan
demikian teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang sama dengan teks-teks
lain di dalam budaya, sekalipun asalnya dari Allah. Oleh sebab itu untuk
memahaminya tidak diharuskan menggunakan metode khusus dan tertentu yang pada
akhirnya akan melahirkan pengkultusan terhadap penafsiran. Inilah yang
disebutkan oleh Khaled M. Abou el Fadl sebagai bentuk kelaliman, karena itu
akan mengunci teks dalam sebuah makna tertentu.[24]
Anggapan inilah yang merubah paradigma pemahaman al-Qur'an klasik yang
dikritik oleh Abu Zaid dengan istilah teologis-spekulatif yang disebut sebagai
"dialektika turun", yaitu memahami teks berdasarkan sudut pandang
penutur teks, sebagai kebalikan dari paradigma baru sebagai bentuk
"dialektika naik", yaitu mendekati teks dari realitas empirik serta
kulturalnya sehingga lebih obyektif ilmiah.[25]
Abu Zaid
mendirikan bangunan metode pemahaman teks - sebagaimana yang dipaparkan oleh
Sunarwoto – dengan mengkritik pola penafsiran yang dilakukan oleh Mu'tazilah
dengan pendekatan majaz, dan kelompok sufi dengan takwilnya.[26]
Pembacaan teks melalui kedua pola tersebut dipengaruhi oleh faktor
sosial-politik dan budaya penafsir. Pemahaman semacam ini tetap akan
dipengaruhi oleh orang yang menfsirkannya, baik latar belakang keilmuan maupun
tradisi yang berlaku pada dirinya. Abu Zaid mengalami kegelisahan akademik
ketika menyaksikan wacana keagamaan kontemporer - khususnya di Mesir - dalam
menyakapi warisan intelektual keislaman di satu sisi, dan menghadapi gencarnya
pembaruan.
Dalam
konteks ini apa yang dilalui Abu Zaid sebenarnya dilakukan pula oleh Ali Harb
bahwa di kalangan masyarakat Arab-Islam terdapat pola pemahaman yang
kontradiktif. Tipe penalaran itu ia sebut dengan nalar eksklusif ('aql
mughallaq) yang cenderung membelenggu teks dan menetapkan maknanya dan
membatasi metode dari satu sisi saja. Sehingga hasil dari penalarannya dianggap
suatu kepastian (absolut) dan berakibat pada munculnya fanatisme buta.
Sedangkan tipe kedua adalah nalar insklusif ('aql munfatih)[27]
yang memandang teks tidak hanya dinalar melalui satu sisi pandangan semata. Di
sinilah akan melahirkan pemahaman bahwa kebenaran dari penalaran itu banyak
variasinya karena kemungkinan dari hasil nalar teks memang demikian, adapun
sesuatu yang benar tetap satu.
Pemahaman yang menempatkan teks kepada posisi pasif dan pola penalaran
eksklusif akan mengubah fungsi teks itu sendiri kepada alat untuk melegitimasi
kemauan penafsir dengan berbagai latar belakang dan alirannya, dan menjadikan
pemahaman terhadap teks mengalami kemandegan dan tidak produktif. Untuk
menghindarkan yang demikian, perlu adanya interaksi antara teks dengan sistem
budaya yang ada.
Konsep lain
yang dimunculkan oleh Abu Zaid ialah tentang konsep takwil. Takwil bagi Abu
Zaid adalah sisi lain dari teks. Takwil menjadi salah satu mekanisme
cultural dan peradaban yang cukup penting di dalam menghasilkan pengetahuan.[28]
Jika demikian berarti teks merupakan sumber pengetahuan yang dapat dihasilkan
dari penalaran dan penakwilan, sedangkan takwil lebih merupakan cara untuk
mengeluarkan kandungan pengetahuan yang ada di dalam teks. Takwil dalam
pandangan Abu Zaid,[29]
adalah upaya pengungkapan makna yang tersembunyi di balik teks (istinbat)
dan berbeda dengan tafsir yang dipahami sebagai pengungkapan makna teks
berdasarkan pada dalil atau riwayat yang hanya pada tataran eksternal teks.
Sampai di
sini tampaknya Abu Zaid tidak membedakan makna tafsir dari kebanyakan ulama
tafsir yang memahami kata tafsir sebagai upaya pencarian kandungan teks
al-Qur'an berdasarkan tanda atau riwayat yang ada di dalam teks. Ini kemudian
lebih dikenal dengan istilah tafsir bi al-ma'tsur. Sedangkan takwil
adalah lebih cenderung kepada upaya nalar di dalam memahami kandungan teks
al-Qur'an yang disebut tafsir bi ar-ra'yi. Abu Zaid menawarkan pola
pembacaan teks kepada beberapa istilah, yaitu (a) takwil untuk
mengetahui makna di balik teks yang tersembunyi, ini tidak terbatas pada sisi
bahasa, tetapi konteks pemakaiannya serta konstektualitas yang menyelimutinya;
(b) talwin (ideologisasi) atau pembacaan tendensius yang cenderung
menghasilkan subyektifitas pembaca; (c) pembacaan produktif. Agar pembacaan
terhadap teks dapat menghasilkan signifikansi baru dari teks ke dalam realitas
budaya pembaca yakni pemahaman baru sesuai social-budaya st pemahaman itu
dilakukan berdasarkan makna histories teks, maka perlu diperhitungkan pola
pembacaannya, yaitu; (a) teks al-Qur'an dan dinamikanya dalam konteks
historisnya sendiri, dan (b) situasi dan cakrawala pembacaan saat ini sesuai
konteks histories budaya dan ideologisnya.[30]
b.
Muhammaad Syahrur
Sebenarnya
apa yang dialami oleh Abu Zaid terdapat kemiripan dengan pengalaman Muhammad
Syahrur, seorang Profesor di jurusan Tehnik Sipil Universitas Damaskus dengan
latar belakang ilmu mekanika tanah dan teknik pondasi. Ia menunjukkan komitmen
dan konsistensinya ketika beralih menekuni studi al-Qur'an. Syahrur –
sebagaimana Abu Zaid – mengkritik kelemahan yang dilakukan para penafsir
sebelumnya. Ia menilai para penafsir terdahulu tidak ada pijakan metode ilmiah
obyektif. Ia berguru kepada seorang ahli linguistik sebagai modal dalam
pengkajian al-Qur'an. Pada tahun 1980 ia bertemu dengan dosen linguistic
bernama Ja'far Dak al-Bab dalam sebuah organisasi etnis di Uni Soviet.
Pertemuan itu membawa ketertarikannya pada studi linguistik, filsafat. Dan
studi al-Qur'an. Hasilnya ia mengenal ahli linguistik di lingkungan pemikir
Arab seperti al-Farra, Abu Ali al-Farisi, dan muridnya Ibnu Jinni serta Abdul
Qahir al-Jurjani.
Untuk
menguak pemikiran yang diambil oleh Syahrur dari linguis Arab, Ja'far Dak
al-Bab telah memberikan pengantar dalam penerbitan tulisan perdana Syahrur
yakni al-Kitab wa al-Qur'an. Ja'far menggabungkan teori Ibnu Jinni dan
al-Jurjani, meski tetap dalam jalur linguistik Abu Ali al-Farisi. Pemikiran
utama dari pemikiran tersebut adalah; (1) Penggabungan antara studi diakronik
al-Jurjani dan sinkronik Ibnu Jinni; (2) Teori Ibnu Jinni yang menyatakan bahwa
bahasa tidak terbentuk seketika dan teori al-Jurjani tentang hubungan antara bahasa
dan pertumuhan pemikiran merupakan hal yang saling terkait. Dengan demikian
bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan
pemikiran manusia. Sedangkan ciri linguistik Abu Ali al-Farisi dapat
disimpulkan; (a) bahasa pada dasarnya adalah sebuah system, (b) bahasa
merupakan fenomena social dan strukturalnya terkait dengan fungsi transmisi
yang melekat pada bahasa tersebut (konteks di mana bahasa itu disampaikan), dan
(c) adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran.[31]
Beberapa
pandangan di atas menunjukkan telah terjadi modernisasi dalam pemikiran
linguistik di Arab, dan keluar dari pemikiran ortodoks yang menyatakan bahwa
bahasa Arab adalah bahasa khusus karena ia adalah bahasa suci, bahasa yang
digunakan Tuhan untuk menyampaikan wahyunya, sehingga bahasa tidak terkait
dengan pemikiran dan struktus social masyarakatnya. Sekalipun aliran-aliran di
atas cukup terkait dengan strukturalisme namun ia telah menunjukkan sikap
kritisnya sehingga unsur-unsur historis diterima dalam linguistic tanpa
menafikan adanya struktur.
Modernisasi
dalam linguistik tersebut membuka peluang bagi Syahrur untuk merumuskan
prinsip-prinsip dalam studi al-Qur'an, yakni:
1. Memaksimalkan seluruh
potensi karakter linguistik Arab dengan berpijak pada tiga teori pendaulunya,
yaitu metode linguistik Abu Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan
Abdul Qahir al-Jurjani dan syair Arab jahiliyyah.
2. Berdasar pada produk
akhir ilmu linguistic modern yang menyatakan bahwa bahasa manapun tidak
memiliki karakter sinonim. Sebuah kata dalam koridor historisnya, mengalami dua
alterntif proses yaitu akan mengalami kehancuran atau membawa makna baru selain
makna asalnya.
3. Jika Islam bersifat
relevan pada setiap ruang dan waktu, maka harus dipahami bahwa al-Kitab juga
diturunkan kepada kita yang hidup pada abad dua puluh ini. Kitab-kitab tafsir
dan fiqh yang dihasilkan generasi terdahulu harus dipandang sebagai interaksi
mereka dengan al-Kitab dalam sejarah mereka. Artinya kita perlu merumuskan
kembali kajian tafsir dan pemahaman tekstual keagamaan guna menghasilkan fiqh
‘ala’ modern meskipun tanpa harus melupakan hasil kajian ulama terdahulu.
4. Allah tidak perlu
memberi petunjuk – berupa al-Kitab – untuk diri-Nya sendiri. Maka Dia
menurunkannya sebagai petunjuk bagi menusia. Oleh karena itu seluruh kandungan
al-Kitab pasti dapat dipahami sesuai dengan kemamuan akal. Al-Kitab diturunkan
dalam sebentuk media yang sesuai dengan kapasitas pemahaman manusia. Media
tersebut berupa bahasa (linguistic) Arab murni (al-lisan al-Arab al-Mubin).
Tidak ada kontradiksi antara bahasa dan pemikiran, maka tidak ada ayat yang
tidak bisa dipahami dan pemahaman terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif,
histories, dan temporal. Jika terdapat ayat yang tidak mampu ditembus oleh
pemahaman manusia, maka fungsi al-Kitab sebagai petunjuk belum dapat dirasakan.
5. Tidak ada
pertentangan akal dan wahyu, dan tidak ada pertentangan wahyu dan realitas yang
berupa kebenaran informasi dan rasionalitas penetapan hukum.
6. Lebih menghormati
akal pembaca daripada kepentingan tertentu.[32]
Tawaran
Syahrur di atas mengakibatkan al-Qur’an harus dipahami berdasarkan metodologi
ilmiah. Termasuk di dalamnya adalah pendekatan filsafat dengan berbagai
cabangnya, dan pendekatan kebahasaan. Syahrur membedakan antara konsep
al-Qur’an dengan al-Kitab, menurutnya al-Kitab bukan hasil teks budaya
manusia, tetapi merupakan wujud teks al-Kitab. Karena al-Kitab merupakan Kalam
Allah, dan Allah bersifat absolut, dan memiliki sifat kesempurnaan, maka Kalam
tersebut yang terwujud dalam al-Kitab memiliki nilai absolut. Ini semua
berwujud pada teks berbahasa Arab yang merupakan hasil budaya manusia yang
tidak lepas dari struktur nalar dan kondisi sosial. Dengan demikian al-Kitab
menngandunng unsur absolut ilahiah, sedangkan pemahaman terhadap teks bersifat
relatif. Relatifitas dalam pandangan Syahrur ialah kerangka hubungan antara
pembaca dengan teks al-Kitab yang berbahasa Arab, dan bukan al-Kitab itu secara
hakiki.
Antara Abu
Zaid dan Syahrur
Al-Kitab –
Syahrur membedakannya dengan al-Qur’an – menurut pemikiran Syahrur bukan
merupakan teks budaya dalam pengertian yang dihasilkan oleh manusia, tetapi
wujud teks al-Kitab adalah teks berbahasa Arab. Bahasa Arab merupakan hasil
budaya masyarakat Arab yang terikat dengan struktur nalar dan sosial
masyarakatnya. Sebenarnya sama dengan apa yang disampaikan oleh Abu Zaid yang
menyatakan bahwa al-Qurán adalah produk budaya. Suatu pemikiran yang
berseberangan dengan kesepakatan ulama di kalangan umat Islam dan seakan menghilangkan
nilai kesakralan al-Qur’an. Berbeda dengan Syahrur, Abu Zaid memiliki dalil
logika sendiri yang beralasan bahwa al-Qur’an mengalami dua fase yang
menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial-budayanya.
Syahrur
menyimpulkan bahwa kandungan al-Kitab (al-muhtawa) mengandung unsur
ilahiah yang absolut, namun pada sisi pemahaman terhadapnya bersifat manusiawi
yang relatif. Manusia tidak diberi kemampuan untuk menangkap seluruh kandungan
wahyu yang absolut, untuk itulah Allah telah menurunkan wahyu dengan perantara
yang memungkinkan manusia mampu memahaminya yaitu bahasa. Inilah yang dimaksud
relatifitas dalam kerangka pemikiran Syahrur dalam kaitannya antara pembaca
dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab.
Hubungan
pembaca dengan teks al-Qur’an yang berbahasa Arab mewajibkan adanya ilmu bahasa
sebagai sebuah metode penafsiran untuk meyelami makna al-Qur’an. Syahrur
menetapkan pemikiran linguistik kontemporer sebagai landasan. Ini sebagai
bentuk konsistensi Syahrur tentang temporalitas pemahaman. Syahrur mengajak
kita yang hidup di masa kontemporer untuk menggunakan seluruh pemikiran
kontemporer sebagai sarana memahami kandungan al-Qur’an. Tetapi tentunya tidak
semua teori kontemporer bisa digunakan, dalam hal ini harus disesuaikan dengan
kebutuhan.
Syahrur
menyadari akan keberadaan al-Kitab, yakni sepanjang zaman dan tempat, untuk
itulah ia mengajak umat Islam dalam memahami kandungan al-Kitab itu disesuaikan
dengan kondisi zaman dan tempat. Tidak mesti mengekor kepada hasil penafsiran
atau pemahaman di masa Rasulullah. Meskipun ketika mengambil pemahaman tidak
slah bila merujuk kepadanya. Pemahaman yang dilakukan Nabi Muhammad dan para
sahabatnya merupakan contoh hasil pemikiran tentang kandungan al-Qu’an dalam
rangka menyelesaikan permasalahan yang ada kala itu. Persoalan berbeda, tentu
cara penyelesaiannya pun berbeda, meskipun hasil pemahamannya bermuara dari
satu sumber yang sama. Pemikiran Syahrur di atas dapat dikatakan sama dengan
pemaparan Abu Zaid tentang pola pemahaman terhadap al-Qur’an, ia mengajak umat
Islam untuk memahami kandungan al-Qur’an harus mendasarkan pada kondisi
masyarakat dan juga peradaban bangsa Arab. Karena al-Qur’an yang kita baca
sekarang ini – menurut Abu Zaid – merupakan teks budaya yang dipengaruhi oleh
perkembangan peradaban Arab pada saat itu, dan selanjutnya ia menuntun menuju
satu budaya baru yakni budaya Islam. Atas pemikiran ini pula, Abu Zaid telah
dinilai mengingkari aspek sakralitas al-Qur’an, yang menganggapnya sebagai teks
manusia (budaya).
Usaha yang
dilakukan oleh Syahrur dengan hermeneutikanya – seperti yang dilakukan Abu
Zaid, juga menitikberatkan pada linguistik dan hermeneutika, baru kepada
konteks sejarah, budaya, sosial-politik, di dalam memahami teks al-Qur’an-
berkaitan dengan fiqh Islam pada tema gender, ia menggunakan analisis
struktural yang luar biasa terhadap teks al-Qur’an. Ia berbekal linguistik
kontemporer mampu menemukan struktur khas teks al-Qur’an dan memandang tidak
ada satupun yang bernilai sia-sia. Setelah itu ia menggunakan filsafat dan ilmu
pengetahuan kontemporer di dalam menemukan makna totalitas yang dituju oleh
teks. Keilmuan kontemporer di maksud misalnya filsafat, sosiologi, antropologi,
dan politik, yang ditempatkannya dalam dialektika kritis dengan makna teks
untuk menuju pemahaman yang lebih baik. Hasilnya memberi pemahaman bahwa
al-Qur’an tidak pernah bertentangan dengan akal atau teori ilmu pengetahuan
manapun.
Hermeneutik
dalam Perspektif Pengingkarnya
Seiring
dengan hegemoni peradaban Barat atas Dunia Islam, hermeneutika-pun mengalami
perkembangan lebih jauh lagi, yakni diaplikasikan oleh para intelektual muslim
liberal terhadap Al-Qur`an. Pelopornya adalah para modernis (pembaharu) muslim
abad ke-19 M, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Ghulam Ahmad Parvez, dan Muhammad
Abduh. Pada abad ke-20, dalam dekade 60-an hingga 70-an, muncul beberapa tokoh
dengan karya-karya hermeneutika. Hassan Hanafi, Arkoun, Fazlurrahman, dan Nasr
Hamid Abu Zayd disebut-sebut sebagai tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur`an
dengan metode hermeneutika[33]
Freidrich
Scheiermacher dianggap sebagai bapak hermeneutika modern yang juga teolog,
mengembangkan hermeneutika sebagai alat untuk mengkaji al-Kitab (Bibel) dengan
karyanya Hermeneutics and Criticism, sebuah karya tentang metodologi
kritik teks Perjanjian Baru.[34]
Para Sarjana Muslim kemudian menilai kemunculannya ini merupakan sarana untuk
menumbuhkembangkan gagasan Barat tentang relativisme dan antikemapanan.
Satu hal yang cukup amat penting ilalah bahwa itu sebuah metodologi yang tidak
menghormati nilai kesakralan, sebagaimana ketika digunakan untuk membongkar
Injil, bukan dari sisi pemahamannya saja akan tetapi terjadi pada teksnya juga.
Hermeneutika,
sebagaimana disebut di atas, pada dasarnya merupakan suatu metode penafsiran
yang berangkat dari analisis bahasa dan kemudian melangkah ke analisis konteks,
untuk kemudian "menarik" makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu
saat proses pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan
hermeneutika ini dipertemukan dengan kajian Al-Qur`an, maka persoalan dan tema
pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur`an hadir di tengah masyarakat,
lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan, dan didialogkan dengan dinamika
realitas historisnya.
Fahrudin
Faiz menyatakan, ketika asumsi-asumsi hermeneutika diaplikasikan pada Ulum
Al-Qur`an, ada tiga variabel yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan
kontekstualisasi. Tentang teks, sudah jelas Ulum Al-Qur`an telah
membahasnya secara detail, misalnya dalam sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an
dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada kajian asbabun nuzul,
nasikh mansukh, makki-madani yang katanya menunjukkan perhatian terhadap
aspek "konteks" dalam penafsiran Al-Qur`an. Tapi, Faiz menyatakan
bahwa kesadaran konteks hanya membawa ke masa lalu. Maka kata dia, harus
ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu menumbuhkan kesadaran akan
kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya. Variabel
kontekstualisasi ini adalah perangkat metodologis agar teks yang berasal dari
masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat bagi masa sekarang.[35]
Hermeneutika
al-Qur`an seperti yang diuraikan di atas wajib ditolak berdasarkan beberapa
alasan berikut :
a.
Hermeneutika Produk Orang Kafir
Hermeneutika
sebenarnya sejak awal harus dicurigai, karena bukan berasal dari tradisi keilmuan
Islam, melainkan dari tradisi keilmuan kafir, yaitu kaum Yahudi dan Kristen,
yang digunakan sebagai metode untuk menafsirkan kitab agama mereka (Bible).
Allah SWT berfirman (artinya) : "Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah."
(QS Al-Hasyr [59] : 7)
Mafhum
mukhalafah (pemahaman terbalik) ayat itu, adalah "apa yang
diberikan selain Rasul kepadamu, maka janganlah kamu terima dia." (wa
maa ataakum min ghairi ar-rasuul fa-laa ta’khudzuuhu).[36]
Maka jelaslah bahwa hermeneutika yang tidak datang dari Rasul, haram hukumnya
diterima oleh umat Islam. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab ra. pernah
memegang selembar Taurat. Nabi saw. melihatnya lalu bersabda,"Tidakkah
aku telah mendatangkan sesuatu yang terang benderang bagimu, yang tidak
tercemar dan tidak rusak. Andaikata Musa saudaraku menjumpaiku, niscaya dia
tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti aku." [37]
Jika
lembaran-lembaran Taurat saja ditolak oleh Islam, maka lebih-lebih lagi (min
baabi aula) metodologi tafsirnya alias hermeneutika. Namun sebagai catatan,
Islam membolehkan kita mengadopsi sesuatu dari orang kafir selama tidak
mengandung muatan pandangan hidup asing (value-free), seperti sains dan
teknologi. Di sinilah makna sabda Nabi saw. : Antum a’lamu bi-umuuri
dunyaakum (Kamu lebih tahu urusan-urusan duniamu) (HR Muslim).
Adapun segala ide atau benda yang mengandung muatan pandangan hidup asing (value-bond/value-laden),
seperti hermeneutika, Islam tidak dapat menerimanya.
Hermeneutika
bukan termasuk sains dan teknologi yang bersifat universal, melainkan termasuk
dalam peradaban (hadharah) yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan kufur
yang bertentangan dengan Islam
b.
Hermeneutika Tidak Tepat Untuk Menafsirkan Al-Qur`an
Barangkali
hermeneutika memang cocok (compatible) dengan Bible, yang sudah
kehilangan nilai orisinalitasnya dan banyak masalah, seperti kontradiksi ayat
dengan ilmu pengetahuan. Hermeneutika dapat diumpamakan tongkat untuk orang
buta (cacat). Itu memang cocok dan sudah seharusnya demikian. Contoh, dalam
Mazmur (Pasal) 93 ayat 1 tertulis,"Yea, the world is established, it
shall never be moved." Ayat ini menerangan bumi tidak bergerak, yakni
sebagai pusat tatasurya (geosentris). Ayat ini secara literal
bertentangan dengan temuan Copernicus dan Galileo yang menteorikan matahari
sebagai pusat tatasurya (heliosentris). Di sinilah hermeneutika
diperlukan untuk menafsirkan ayat tadi secara allegoris (kiasan), bukan
dalam makna literalnya yang jelas akan menimbulkan kekacauan pemahaman atau
bahkan kegoncangan iman Kristiani. Jadi, hermeneutika mungkin memang cocok
untuk Bible, seperti halnya kebutuhan orang buta akan tongkat penuntunnya.
Tapi
tongkat tidaklah diperlukan untuk orang yang matanya sehat. Al-Qur`an tidak
memerlukan hermeneutika. Karena Al-Qur`an masih terjaga orisinalitasnya, dan
tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami Bible. Allah SWT berfirman
menegaskan di dalam surat al-Hijr ayat 9 yang menjamin keutuhan dan keamanan
al-Qur'an. Jadi menerapkan hermeneutika untuk menginterpretasikan Al-Qur`an,
adalah tidak cocok (incompatible).
Menurut Wan
Mohd. Nur Wan Daud, hermeneutika teks-teks agama Barat bermula dari
masalah-masalah besar, yaitu : (1) ketidakyakinan tentang kesahihan teks-teks
tersebut oleh para ahli dalam bidang itu sejak awal karena tidak adanya bukti
materiil teks-teks yang paling awal, (2) tidak adanya laporan-laporan tentang
tafsiran yang dapat diterima umum, yakni ketiadaan tradisi mutawatir dan ijma’,
(3) tidak adanya sekelompok manusia yang menghafal teks-teks yang telah hilang
itu. Ketiga masalah besar yang dialami Bible ini, tidak dialami oleh Al-Qur`an.[38]
Sesuatu
yang mengerikan adalah, ada sebagian pemikir liberal yang kemudian mencoba
membuktikan bahwa Al-Qur`an juga bermasalah, sebagaimana Bible. Tujuannya
supaya penggunaan hermeneutika menemukan alasannya yang rasional. Mereka
menggugat otentisitas teks Al-Qur`an yang disebut-sebut sebagai hasil dari
hegemoni Quraisy, yang katanya bermotifkan politik belaka. Jelas ini sikap
taqlid yang berbahaya. Ini dapat diumpamakan seperti orang yang sebenarnya
bermata sehat, tapi ingin memakai tongkat untuk orang buta, supaya keren dan terlihat
hebat. Akhirnya orang itu pergi ke rumah sakit untuk membutakan matanya, agar
punya alasan kuat untuk memakai tongkat orang buta.
c.
Hermeneutika Menguatkan Sekularisme
Dalam
praktiknya untuk menafsirkan Al-Qur`an, hermeneutika justru mengokohkan sesuatu
yang seharusnya dihancurkan umat Islam, yakni hegemoni sekularisme-liberalisme
di Dunia Islam. Sebagai contoh kasus, ingat kembali kasus draft CLD KHI (Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) yang digagas oleh Siti Musdah Mulia.
Draft tersebut telah menghasilkan beberapa pasal berbahaya dan kontroversial.
Misalnya, mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris
laki-laki dan perempuan (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam waktu
tertentu alias membolehkan kawin kontrak (pasal 28), menghalalkan perkawinan
antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya.
Pasal-pasal
ini lahir karena metodologi yang digunakan untuk memahami Al-Qur`an adalah
hermeneutika. Dengan hermeneutika, ayat-ayat Al-Qur`an ditundukkan pada
sejumlah prinsip yang sekaligus merupakan pokok-pokok ide sekularisme. Menurut
para penggagas CLD KHI, sejumlah ide yang menjadi paradigma draft itu adalah :
(1) kesetaraan gender, (2) pluralisme, (3) hak asasi manusia, dan (4)
demokrasi. Dari sini jelaslah pola kerja hermeneutika dalam memperlakukan ayat
Al-Qur`an di satu sisi, dengan ideologi Barat di sisi lain. Modus hermeneutika
tidak lain dan tidak bukan adalah menyesuaikan Al-Qur`an dengan ideologi Barat,
atau praktik ideologi Barat dalam realitas. Ibaratnya, Al-Qur`an sekedar
’makmum’, sementara ’imamnya’ adalah ideologi kapitalisme-sekular. Apapun
gerakan dan doa sang imam, makmum wajib mengikutinya dengan seksama, tanpa
menyelisihinya apalagi mendahuluinya. Inilah bentuk "sholat jamaah"
yang bid’ah dholalah dan munkar yang menjadi pola kerja khas hermeneutika.
Kemungkaran keji inilah yang sering mereka sebut sebagai "kontekstualisasi
Al-Qur`an" untuk menyesatkan umat Islam.
Hasil akhir
dari aplikasi hermeneutika terhadap Al-Qur`an tentu saja bukan untuk kepentingan
umat Islam apalagi untuk meninggikan agama Islam. Hasil akhirnya adalah justru
untuk menyesatkan umat Islam, menghancurkan agama Islam, dan mengokohkan
dominasi sekularisme di Dunia Islam.
Sebuah
Kompromi
Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat dipahami bahwa
hermeneutika itu tidak lain adalah suatu metode pemahaman, metode
memahami suatu pemahaman yang didasarkan pada beberapa langkah dan ciri
khasnya, sebagai sarana untuk menguak kandungan teks tertentu, termasuk teks
al-Qur’an. Di dalam menyikapi dua kutub umat Islam yang berkomentar tentang
hermeneutika sebenarnya terdapat beberapa cacatan yang dapat diambil, yakni :
1.Benar bahwa hermeneutika merupakan produk Barat, sebagai alat memahami Bibel,
akan tetapi tentunya tidak serta-merta harus dicemooh atau dinilai kafir bagi
penggunanya, karena bagaimanapun ia hanya sebatas sarana pemahaman. Sebab
hermeneutika saat diaplikasikan pada Ulum Al-Qur`an, ada tiga variabel yang
harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentang teks,
dalam istilah Ulum Al-Qur`an telah dibahas secara detail, misalnya dalam
sejarah pembukuan mushaf Al-Qur`an dengan metode riwayat. Tentang konteks, ada
kajian asbabun nuzul, nasikh mansukh, makki-madani yang katanya
menunjukkan perhatian terhadap aspek "konteks" dalam penafsiran
Al-Qur`an. Dan di sinilah perlu ditambahkan variabel kontekstualisasi, yaitu
menumbuhkan kesadaran akan kekinian dan segala logika serta kondisi yang
berkembang di dalamnya. Variabel kontekstualisasi ini adalah perangkat
metodologis agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami dan bermanfaat
bagi masa sekarang.
2. Bagi pengguna heremenutika perlu menyadari bahwa al-Qur’an merupakan suatu
Kitab suci yang memiliki nilai sakral ilahiah yang perlu dijaga. Prinsip
hermeneutika yang mempertanyakan keorisinalitasan al-Qur’an karena ada ayat
dinilai berpihak pada otoritas tertentu, sehingga perlu direduksi – seperti
halnya Injil – maka itu perlu ditinjau kembali. Sebab Al-Qur`an masih terjaga
orisinalitasnya, dan tidak mengalami masalah-masalah seperti yang dialami
Bible.
Penutup
Hermeneutika
merupakan suatu pola pemahaman teks dari hasil pemikiran manusia. Suatu sarana
untuk sampai kepada makna yang terkandung di dalam suatu teks dengan beberapa
langkah dan tekniknya. Meskipun dinilai sebagai produk Barat akan tetapi tidak
mesti dinafikan, karena dalam Islam dituntut mengembangkan kreatifitas
pemikiran manusia. Sebagai hasil kreatifitas pemikiran itu ialah teori
hermeneutika yang telah terbukti mampu melahirkan pemahaman baru yang berdampak
pada peradaban yang lebih maju. Dalam kaitan dengan pemahaman teks al-Qur’an,
penggunaan hermeneutika tidak perlu dikhawatirkan meski akan bermunculan
penfasiran berbeda-beda. Ada pepatah mengatakan: “likulli maqal maqam wa li
kulli maqam maqal”. Kesadaran akan kemukjizatan dan keorisinalitasan
al-Qur’an juga harus tetap dijunjung tinggi. Wallahu a’lam.
Daftar Bacaan
Abdullah, M. Amin, 'Pendekatan Hermeneutik dalam Studi
Fatwa-fatwa Keagamaan' dalam Kholed M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, Pent.
R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2004, cet. I.
Bleicher, Joseph, Contemporary Hermeneutics,
London : Routledge and Kegan Paul, 1980.
Abou el-Fadl, Kholed M., Atas Nama Tuhan, Pent.
R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qurán; Tema-tema
Kontroversial, Yogyakarta : eLSAQ, 2005.
Fanani, Ahmad Fuad, Islam Madzhab Kritis; Menggagas
Keberagamaan Liberatif, Jakarta : Kompas, 2004.
Harb, Ali, Hermeneutika Kebenaran, Pent.
Sunarwoto Dema, Yogyakarta : LKiS, 2003, cet. I.
Howard, Roy J., Hermeneutika, Pengantar Teori-teori
Pemahaman Kontemporer, Pent. Kusmana dan M.S. Nasrullah, Bandung : Nuansa,
2000, cet. I.
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat dari Dominasi
Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta : Gema Insani Press, 2005.
Khalis S, Mohammad Nur, "Nashr Abu Zaid; Beberapa
Pembacan terhadap Turats Arab" , dalam Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika
Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas
Diskursus Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, Jakarta :
ICIP, 2004, cet. I.
Mustaqim, Abdul, & Syamsudin, Sahiron, (Ed),
Studi Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir,
Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2002.
-------, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi
Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta : Nun
Pustaka , 2003.
Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam
Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur'an Madzhab Yogya, Yogyakarta
: Islamika, 2003, .
Sunarwoto, "Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi
Studi-studi al-Qur'an" dalam Sahiron Syamsuddin dkk.
Syahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah
Mu'ashirah al-ahali, Damaskus : al-Ahali, 1990.
Sumaryono, E., Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat,
Yogyakarta : Kanisius, 1999.
Abu Zaid, Nashr Hamid, Naqd al-Khitab ad-Dini, Kairo
: Sina li an-Nasyr, 1992.
-------, Mafhum an-Nash; Dirasah fi 'Ulum
al-Qur'an, Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994.
-------, Isykaliyat al-Qira'ah wa Aliyat at-Ta'wil,
Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994.
------, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi
Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, Pent.
Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, Jakarta : ICIP, 2004, cet. I.
* Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden
Intan Bandarlampung, mengajar mata kuliah Hadits. S1-nya diselesaikan di
IAIN Raden Intan Bandarlampung Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits.
S2-nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2005), h. xix.
[4] Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Pent.
Sunarwoto Dema, (Yogyakarta : LKiS, 2003), cet. I, h. 2.
[6] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari
Dominasi Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press,
2005), h. 290-292
[7] Roy J. Howard, Hermeneutika, Pengantar Teori-teori
Pemahaman Kontemporer, Pent. Kusmana dan M.S. Nasrullah, (Bandung : Nuansa,
2000), cet. I, h. 15.
[8] Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam
Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika Al-Qur'an Madzhab Yogya,
(Yogyakarta : Islamika, 2003), Cet. I, H. 54-55.
[12] M. Amin Abdullah, 'Pendekatan Hermeneutik dalam Studi
Fatwa-fatwa Keagamaan' dalam Kholed M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan, Pent.
R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2004), cet. I, h.
vii-x.
[15] Mohammad Nur Khalis S, "Nashr Abu Zaid; Beberapa
Pembacan terhadap Turats Arab" , dalam Nashr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika
Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas
Diskursus Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, (Jakarta
: ICIP, 2004), cet. I, h. xv.
[18] Nashr Hamid Abu Zaid Mafhum an-Nash; Dirasah fi
'Ulum al-Qur'an, (Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994), h. 27.
[19] Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab Kritis; Menggagas
Keberagamaan Liberatif, ( Jakarta : Kompas, 2004), h. 92.
[22] Nashr Hamid Abu Zaid, Isykaliyat al-Qira'ah wa
Aliyat at-Ta'wil, (Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al-'Arabi, 1994), h. 13-14.
[26] Sunarwoto, "Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi
Studi-studi al-Qur'an" dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Op.Cit., h.
104.
[31] Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah
Mu'ashirah al-ahali, (Damaskus : al-Ahali, 1990), h. 21-22.
Sunarwoto, Op.Cit., h. 126.
[33] Abdul Mustaqim, & Sahiron Syamsudin, (Ed), Studi
Al-Qur`an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta :
Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 149-167. Lihat juga Abdul Mustaqim, Madzahibut
Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an Periode Klasik Hingga Kontemporer,
(Yogyakarta : Nun Pustaka , 2003), h. 104-117.