PENGERTIAN DAN ASAL-USUL HERMENEUTIKA: SEBUAH PERTIMBANGAN
1.
I. Pengertian Hermeneutika
Kata
“hermeneutika”, dalam bahasa Indonesianya yang kita kenal, secara etimologi
berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein, yang
berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, “interpretasi.[1] Dari
asal kata itu berarti ada dua perbuatan; menafsirkan dan hasilnya, penafsiran
(interpretasi), seperti halnya kata kerja “memukul” dan menghasilkan “pukulan”.
Kata tersebut layaknya kata-kata kerja dan kata bendanya dalam semua bahasa.
Kata Yunani hermeios mengacu pada seorang pendeta bijak,
Delphic. Kata hermeios dan kata kerja yang lebih umum hermeneuein dan
kata bendahermeneia diasosiasikan pada Dewa Hermes, dari sanalah
kata itu berasal.[2]
Dewa
Hermes mempunyai kewajiban untuk menyampaikan pesan (wahyu) dari Jupiter kepada
manusia. Dewa Hermes bertugas untuk menerjemahkan pesan Tuhan dari gunung
Olympuske dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia. Jadi hermeneutika
ditujukan kepada suatu proses mengubah sesuatu atau situasi yang tidak bisa
dimengerti sehingga dapat dimengerti (Richard E. Palmer). Ada tiga
komponen dalam proses tersebut;mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan.
Filsafat
Yunani kuno sudah memberikan sinyal mengenai “interpretasi”. Dalam karyanyaPeri
Hermeneias atau De Interpretatione, Plato menyatakan “kata yang kita
ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita dan kata yang kita tulis
adalah simbol dari kata yang kita ucapkan”. Sehingga dalam memahami sesuatu perlu
adanya usaha khusus, karena apa yang kita tafsirkan telah dilingkupi oleh
simbol-simbol yang menghalangi pemahaman kita terhadap makna.
Dari
uraian di atas ada tiga kesamaan antara tafsir Al-Qur’an dengan hermeneutika.
Kesamaan itu tercakup dalam tiga unsur utama hermeneuein yang
mana dalam tafsir Al-Qur’an dapat dimasukkan dalam kategori kegiatan hermeneuein tersebut. Pertama,
dari segi adanya pesan, berita yang seringkali berbentuk teks, tafsir Al-Qur’an
jelas menafsirkan teks-teks yang terdapat dalam Kitab Suci Al-Qur’an; Kedua,
harus ada sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa asing terhadap
pesan itu, dalam hal ini kaum Muslimin pembaca Al-Qur’an, baik yang berbahasa
Arab apalagi yang tidak berbahasa Arab. Pesan-pesan Al-Qur’an harus dijelaskan
sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan
mereka; Ketiga, adanya pengantara yang dekat dengan kedua belah
pihak. Untuk unsur ketiga ini pengantara paling dekat dengan sumber, Allah SWT,
yaitu Nabi Muhammad SAW, sehingga seluruh mufassir menjadikan Rasulallah SAW
sebagai rujukan utama dalam menafsirka pesan-pesan Allah.[3]
Dalam
terminologi, hermeneutika banyak didefinisikan oleh para ahli. Mereka (para
ahli) memiliki definisinya masing-masing. F D. Ernest Schleirmacher
mendefinisikan hermeneutika sebaga seni memahami dan menguasai, sehingga yang
diharapkan adalah bahwa pembaca lebih memahami diri pengarang dari pada
pengarangnya sendiri dan juga lebih memahami karyanya dari pada pengarang.
Fredrich August Wolf mendefinisikan, hermeneutika adalah pengetahuan tentang
kaidah-kaidah yang membantu untuk memahami makna tanda-tanda. Sedangkan menurut
Martin Heidegger dan Hans George Gadamer bahwa hermeneutika adalah proses yang
bertujuan untuk menjelaskan hakikat dari pemahaman.[4]
Pembaca
lebih memahami diri pengarang dari pada pengarang itu sendiri. Inilah hal yang
tidak mungkin dalam displin tafsir, sebab mufassir tidak akan bisa memahami
pengarang, Allah SWT dan tidak bisa memahami Al-Qur’an lebih dari Allah SWT,
maka para mufassir sering menulis kata wallahu a’lam bish
as-sawaab atau wallahu a’lam bi muraadih di akhir
tafsirannya.
Hermeneutika
juga bisa dikatakan sebagai cabang dari filsafat dengan adanya perubahan dari
“metafisika menjadi hermeneutika”. Hal ini terlihat dari sebuah kritik
epistimologi Immanuel Kant. Kritik tersebut ditujukan atas metafisika. Dalam
bukunya “Critique of Pure Reason”, Kant mengecam metafisika yang
telah berumur lebih seribu tahun yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan.
Menurutnya metafisika hanya melahirkan pengetahuan yang subjektif. Pengetahuan
itu dihasilkan atas dasar otoritas suatu konsep berpikir yang menghasilkan ide.
Ia menawarkan sebuah terobosan metafisika baru yang berupa hermeneutika. Dengan
konsep Logic of Transcendental, bahwa pikiran kita mengumpulkan
pengetahuan-pengetahuan yang akhirnya apabila pikiran kita akan memproses suatu
pengetahuan maka pengetahuan-pengetahuan yang dikumpulkan oleh pikiran kita
akan ikut memproses pengetahuan baru, sehingga hasilnya tidak subjektif
melainkan lebih objektif.
Untuk melihat lebih lanjut mengenai definisi
hermeneutika, perlu diuraikan tentang enam definisi modernnya, karena hal ini
akan membantu kita untuk mengetahui asal-asul dan perjalanan sejarah
hermeneutika, walaupun tidak secara luas dan mendalam.
1.
1. Hermeneutika
Sebagai Teori Eksegesis Bibel (abad ke-17)
Hermeneutika
pada awalnya merupakan teori penafsiran Bibel dan hal ini mempunyai justifikasi
historis. Hermeneutika merupakan kaidah-kaidah yang terkandung dalam buku-buku
interpretasi kitab suci (skriptur). Karya J. C. Dannhauer, Hermeneutica
sacra sive methodus exponendarum sacrarum litterarum, yang diterbitkan pada
1654 membenarkan hal ini. Oxford English Dictionary, kamus bahasa
Inggris, pun memperkuat hal ini, yang mencantumkan kata hermeneutika sebagai
salah satu entrynyatahun 1737 yang berarti: “bersikap bebas dengan
tulisan suci, seperti sama sekali tidak diperkenankan menggunakan beberapa
kaidah yang kita ketahui dari sekedar hermeneutika seperti apa adanya”.
Pada
abad ke-17 hermeneutika sudah menjalar kepada penerapan penafsiran tekstual dan
teori-teori interpretasi keagamaan, satra dan hukum. Dari hal ini kiranya
senada secara perhitungan waktu atau abad yang disebut “modern”, yaitu semenjak
abad ke-15, yang ditandai dengan renaisance, maka abad ke-17
termasuk waktu modern, secara angka tahun.
1.
2. Hermeneutika
Sebagai Metode Filologis (abad ke-18)
Filologi
adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatau bangsa dengan menelaah
karya-karya sastra-nya (atau sumber-sumber tertulis lainnya).[5] Metode
filologi digunakan dalam memahami Bibel secara lebih sempurna, karena telah
bernjalannya dan berbedanya ruang dan waktu, sehingga membutuhkan usaha yang
lebih untuk memahami pesan Bibel, terutama Perjanjian Baru, agar relevan dengan
zaman. Hermeneutika Bibel pada hakekatnya adalah definisi lain dari metode
filologi, karena kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan sama sekali.
1.
3. Hermeneutika
sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Schleirmacher
tidak menerima kaidah-kaidah interpretasi sebelumnya begitu saja. Bahkan ia
pergi jauh meninggalkannya, karena menurutnya hermeneutika bukan sekedar ilmu,
tetapi juga seni memahami. Ia merintis hermeneutika non-disipliner yang sangat
signifikan bagi diskusi sekarang, yaitu hermeneutika sebagai studi pemahaman
bukan kaidah-kaidah. Hermeneutika ini disebut hermeneutika umum (allgemeine
hermeneutik) yang prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fondasi bagi
semua ragam interpretasi teks.
1.
4. Hermeneutika
sebagai Fondasi Metodologi bagi Geisteswissenschaften (abad ke-19)
Mengadopsi
ilmu gurunya, Schleirmacher, Dilthey berusaha menerapkan hermeneutika sebagai
metode untuk melayani geisteswissenschaften (semua disiplin
ilmu yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia). Dia juga
mempunyai proyek “kritik nalar historis” yang berbeda dengan
filsafat sejarahnya Hegel, karena Dlthey tidak mengklasifikasikan sejarah
sebagaimana Hegel, tetapi ia menekankan pada kritik akal sejarah. Pada awalnya
proyeknya ini agak tersumbat, karena ia menggunakan analisa psikologis yang
bukan merupakan disiplin historis, tetapi dengan hermeneutika ia menemukan
sesuatu yang sesuai dalam memperlakukan geisteswissenschaften.
1.
Hermeneutika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman
eksistensial (abad ke-20)
Model
hermeneutika ini diusung oleh seorang eksistensialis Martin Heidegger yang kemudian
diteruskan oleh Hans George Gadamer. Eksistensialisme adalah aliran salah satu
aliran filsafat yang mempunyai prinsip darsar “eksistensi mendahului esensi” (existence
precedes essence). Apa yang dikatakan eksistensi adalah manusia. Aliran
filsafat ini tampaknya sangat berpengaruh padanya. Kebenaran menurutnya adalah
menemukan eksistensi. Dia menggambarkan fakta dengan kalimat “alam tidak
mungkin ada tanpa adanya aku, atau aku tidak mungkin ada tanpa adanya alam”.[6] Pada
intinya, menurut Heidegger, adalah bahwa manusia selalu “membelum” atau belum
dan belum meraih eksistensinya. Oleh karena itu, melakukan penafsiran atau
interpretasi adalah menemukan dirinya sendiri dalam teks dan tidak ada
interpretasi final.
Jadi,
fenomenologi dasein (da: di sana, sein: berada), istilah ini digunakan oleh
Heidegger untuk menunjuk kepada manusia yang bereksistensi, adalah ilmu tentang
fenomena manusia dalam bereksistensi lewat kegiatan menafsirkan. Sedangkan
pemahaman eksistensial adalah pemahaman yang didasarkan pada eksistensi
manusia, karena manusia selalu membelum, maka tidak ada pemahaman pemahaman
final. Pemahaman tersebut akan terus berlanjut sesuai dengan space and
time hermeneut.
1.
Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi: Menemukan
Makna vs. Ikonoklasme (abad ke-20)
Sesuatau
yang kita pahami adalah sesuatu yang dilingkupi simbol-simbol. Adalah Paul
Ricoeur (1965) yang meneliti lebih lanjut mengenai hal tersebut. Studinya
membedakan antara univokal dan equivokal;
simbol univokal adalah tanda dengan satu makna yang ditandai,
seperti simbol-simbol dalam logika simbol, sementara simbol equivokal adalah
fokus sebenarnya dari hermeneutika.[7]
Obyek
interpretasinya mulai dari teks dalam pengertian yang luas, yang bisa berupa
simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau
sastra. Oleh karena itu, dalam menginterpretasi teks dilakukan
interpretasi recollective, dan untuk menginterpretasi mitos
digunakan teori demitologisasi dan demistifikasi. Untuk
lebih mendalam sebaiknya dirujuk bukunya yang berjudul “Symbol of
Evil”.
1.
II. Ruang Lingkup Hermeneutika
Apakah
yang dibahas hermeneutika? Sebagian ada yang menjawabnya dengan sederhana bahwa
hermeneutika adalah model pemikiran dan perenungan filosofis yang bertujuan
untuk menjelaskan pengertian pemahaman (verstehen understanding) dan ia
berusaha menjawab pertanyaan, “Apa yang akan dibuat oleh sebuah makna kepada
yang memiliki makna?” Bisa jadi sesuatu itu berupa bait syair atau teks
undang-undang, perbuatan manusia, bahasa, kultur asing atau personal.[8]
1.
Hermeneutika
khusus (regional hermeneutics)
yaitu hermeneutika sebagai cabang dari disiplin ilmu. Setiapmedan ilmu
mempunyai hermeneutikanya masing-masing dan digunakan untuk medannya yang
khusus sesuai bidang ilmunya.
2.
Hermeneutika
umum (general hermeneutics)
yaitu hermeneutika yang tidak terkait dengan cabang ilmu-ilmu tertentu.
Hermeneutika ini menggabungkan semua cabang ilmu untuk memahami. Pelopornya
adalah Freidrich Schleirmacher (1768-1834 M). Hermeneutika ini tersusun darai
kaidah-kaidah dan dasar-dasar umum yang berisi berbagai macam ilmu pengetahuan
yang mengontrol proses pemahaman secara benar.
3.
Hermeneutika
filsafat (hermeneutical philosophy).
Obyeknya bukan teks yang dipahami, tetapi pemahaman itu sendiri yang ditempuh
dengan perenungan filosofis. Hermeneutika ini tidak mengenal kaidah-kaidah
untuk mencapai kebenaran pemahaman, melainkan tidak mengenal kebenaran melalui
metode ilmiah.
1.
III. Sejarah
Munculnya Hermeneutika
Berpijak
pada penulisan entri hermeneutika dalam Oxford English
Dictionarymelegitimasi pijakan kuat bahwa hermeneutika muncul di Barat
berhubungan secara mendasar dengan problem pemahaman kitab suci umat Kristiani.
Kritik internal seorang pemuka Kristen Katolik, Martin Luther (1483-1546 M)
membukakan keran bagi hermeneutika untuk mengalirkan airnya bukan hanya ke
ranah teologi, tetapi juga ke semua ilmu humaniora. Ia menyerukan untuk membaca
Bibel secara bebas.
Adatiga hal yang menjadi problem masyarakat
Kristen sejak lama:
1.
Penetapan
Injil-Injil yang dinukil secara verbal kepada mereka ke dalam bentuk korpus
tertulis.
2.
Terbentuknya
sekumpulan syari’at langit dan pada waktu yang sama menjelaskan hubungan antara
Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB).
Semua
ragam ini memiliki karakteristik hermeneutis seperti ceramah misionaris dan
pengajaran Kristen serta pengungkapan-pengungkapan lain yang hidup dari teologi
gereja.[11]
1.
IV. Madzhab-Madzhab Hermeneutika
Adatiga madzhab besar hermeneutika:
1.
I. Hermeneutical Theory, yaitu
hermeneutika sebagai metode. Madzhab hermeneutika ini terikat dengan
kaidah-kaidah dan dasar-dasar dalam interpretasi. Tokoh utama yang berjasa
meletakkan hermeneutika ini adalah Wiliam Dilthey (1833-1911 M) yang
dilanjuntkan oleh Emilio Betti (1890-1968 M).
2.
II. Hermeneutical Philosophy,
yaitu madzhab hermeneutika yang tidak berkaidah atau tidak sebagai metode.
Hermeneutika ini dipengaruhi oleh aliran filsafat eksistensialiame yang
menekankan pada pemahaman eksistensial. Tokohnya adalah filsuf Jerman Hans
George Gadamer.
Bagi
Gadamer hermeneutika tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif.
Bagi dia makna tidak harus makna dari pengarangnya, melainkan makna bagi kita
yang hidup di zaman ini.[12] Kiranya
ini tidak cocok dengan Al-Qur’an, bahwa kata dan makna berasal dari Allah,
bahkan Muhammad pun tidak bisa mengubah walaupun sedikit. Memang makna
Al-Qur’an haruslah serasi dengan zaman kita hidup, karena Al-Qur’an memang
sebagai kitab bagi seluruh manusia hingga akhir zaman. Kalau begitu makna
Al-Qur’an dari Allah yang sesuai dengan zaman kapanpun, hanya kita saja yang
harus bisa menangkapnya.
Pendekatan penafsiran ala Gadamer
tersebut ditemukan dalam hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, yang berpretensi
untuk menemukan makna subtantif dari historis dan diaktualisasikan di masa
kekinian.
1.
III. Critical Hermeneutics.
Kedua madzhab di atas hanya berkisar pada proses pemahaman, yang pertama dengan
metode dan yang ke-dua tidak dengan metode. Mereka justru belum mempertanyakan
apa yang mereka pahami yaitu teks itu sendiri. Yang seharusnya mereka
pertanyakan adalah “apakah makna teks memiliki kebenaran atau tidak”.
Teori hermeneutika ini menilai diskusi hal itu berada di luar area metodologi
dan epistemologi.[13] Pelopor
madzhab ini adalah filsuf Jerman, Juergen Habermas (1929-…).
Kemudian dari tiga madzhab besar di
atas, muncul aliran-aliran hermeneutika. Berikut nama-namanya dan
tokoh-tokohnya:
§
“Hermeneutika Simbolis dan Tipologis”. Philon of Alexandria adalah ikon yang penting di
dalamnya.
§
“Hermeneutika Dalam dan Aksioma Semesta Alam”. Tokoh-tokohnya adalah Agustin, Martin Luther, dan
Matias Flasius.
§
“Hermeneutika Kritis”. Denhaur, John Calladinus, dan George Mayer adalah
tokoh-tokohnya.
§
“Hermeneutika Romansia”. Schleirmacher adalah pemukanya.
§
“Hermeneutika Historis”. F. Ast, John Droezn, dan Wiliam Dilthey adalah tokoh-tokohnya.
§
“Hermeneutika Fenomenologi dan Eksistensialis”. Tokohnya adalah Edmund Hussrel, Martin Heidegger,
Fraiburgh, dan Gadamer.[14]
§
1.
IV. Sebuah Pertimbangan
Secara garis besar aliran hermeneutika
terbagi menjadi dua aliran; obyektif (arti gramatikal kata-kata dan
variasi-variasi historisnya) dan subyektif (maksud pengarang). Dalam kesimpulan
makalahnya, yang ditulis untuk seminar Nasional di IAIN WalisongoSemarang,
Prof. Dr. Yunahar Ilyas menulis bahwa ilmu tafsir kita jauh lebih kaya dari
metode hermeneutika. Berbagai corak dan metode telah ada dalam khazanah
keilmuan Islam. Seperti kita tahu disanaada model tafsir bahasa, fikih,
filsafat, tasauf dan sosiologi kemasyarakatan, sehingga kita tidak dalam
keadaan mendesak untuk harus mengadopsi semua metode yang diterapkan pada
hermeneutika.
Beliau menambahkan bahwa ada perbedaan
yang paling subtantif antara tafsir dan hermeneutika yaitu pandangannya
terhadap nash Al-Qur’an. Hermeneutika memperlakukan semua nash (teks), sehingga
tidak ada unsur sakralnya. Tidak senada dengan tafsir. Al-Qur’an adalah teks
suci yang diwahyukan kepada Muhammad dari Allah SWT melalui perantara Jibril
dan Muhammad sebagai perantara yang terpaksa (tidak berhak menyusun kata-kata).
Lahan kritik, aktualisasi makna, dan pemahaman dalam tafsir adalah penafsiran
itu sendiri, bukan teks Al-Qur’anya, berbeda dengan kritik hermeneutika Bibel.
Bukti
nyata bahwa dalam tradisi kitab suci Bibel, bahwa bagaimana susunan, apa saja
unsur-unsurnya pernah mengalami perubahan, tidak seperti Al-Qur’an. Perubahan
tersebut terjadi lewat konsili-konsili gereja yang sudah dilakukan puluhan
kali, yang salah satu agendanya adalah untuk membahas teks Bibel. Dalam Islam
tidak pernah dilakukan hal semacam ini. Berikut adalah beberapa konsili yang
merumuskan teks Bibel:[15]
No.
|
Nama Konsili/TH
|
Masalah
|
Hasil
|
1.
|
Konsili Lodesia (364 M)
|
Menentukan beberapa kitab menjadi
bagian dari kitab suci
|
–
Memasukkan 7 kitab lagi sebagai kitab suci, yaitu: surah 1 Petrus; atau surah
Paulus kepada Petrus 1; surah II Petrus atau surah paulus kepada Petrus 2 . .
. dst.
–
Sedangkan kitab wahyu Kepada Yohanes dianggap sebagai kitab yang dikeragui.
|
2.
|
Konsili Roma (382)
|
Tata susunan Bibel
|
–
Tata susunan Bibel yaitu 1. Injil yang empat, 2. Surat Paulus yang 14, 3.
Wahyu kepada Yohanes, 4. Kisah para Rasul, 5. Surat-surat Katolik yang tujuh
|
3.
|
Konsili Chartage (397)
|
Penambahan Bibel
|
–
Menerima ttujuh kitab lainnya, yaitu: Hikmah, Jami’ah, Tobit, Mokaben 1,
Mokaben 2, dan wahyu kepada Yohanes
|
Sudah
puluhan konsili gereja yang diadakan hingga pertengahan abad ke-16 yang
dihadiri oleh para uskup, para pemikir, dan juga para filsuf dengan biaya besar
demi melakukan voting untuk menentukan mana kitab kitab yang pantas untuk dijadikan
kitab suci.[16]Sekarang
pertannyaannya adalah “apakah umat Islam pernah melakukan hal di atas?”. Tidak
satu pun umat Islam di dunia ini yang meragukan keotentikan Kitab Suci
Al-Qur’an. Mengutip pernyataan Syaikh abdul Halim Mahmud yang ditulis oleh
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an”:
Para orientalis yang dari saat ke saat berusaha menunjukan kelemahan Al-Qur’an,
tidak mendapatkan celah untuk meragukan keontetikannya”.[17]
Akhirnya, penulis tidak menyimpulkan makalah
ini. Dari uraian-uraian di atas, kita dapat mempertimbangkan hermeneutika
sebagai pengganti tafsir atau menggunakannya untuk menafsirkan
Al-Qur’an.Adapenelitian yang menunjukkan bahwa metode-metode yang diimpor dari
Barat banyak yang berbenturan keras dengan hal-hal aksioma dalam Islam. Masih
perlu dikaji dan diteliti lebih dalam lagi tentang kelayakan hermeneutika untuk
menafsirkan Al-Qur’an.
1.
V. Referensi
Gordin,
Jean, Sejarah Hermeneutika, terj. Inyiak Ridwan
Muzir,Jakarta: ar-Ruzz Media, 2007.
Ilyas,
Yunahar, Perlukah Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur’an, makalah
seminar Nasional “Hermeneutikaphobia”, Fakultas Ushuluddin, Tafsir Hadits, IAIN
Walisongo Semarang, Kamis, 29 Oktober 2009.
Ismail,
Muhammad, al-Husaini, al-haqiqah al-muthlaqah, terj. Alimin
(Kebenaran Mutlak), Jakarta: Sahara Publisher, 2006.
Palmer,
Richard E., Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, terj. Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutika,
Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Partanto,
Pius A. dan Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer,Surabaya:
Arkola.
Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat,Jakarta: Mizan, 2009.
Salim,
Fahmi, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal,Jakarta:
Perspektif, 2010.
Sumaryono,
E., Hermeneutika, Sebuah Metode Filsafat,Yogyakarta :
Kanisius, 1994.
[1] Richard
E. Palmer, Interpratation Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger,
and Gadamer, terj. Mansur Hery & Damanhuri M, Hermeneutika,
Teori Baru Mengenai Interpretasi, hal. 14.
[2] Ibid.,
hal 15.
[3] Yunahar
Ilyas, Perlukah Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Qur’an, makalah
seminar Nasional Hermeneutikaphobia, Fakultas Ushuluddin, Tafsir Hadits,
IAIN Walisongo Semarang.
[4] Lihat
Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, hal
53-55.
[5] Pius
A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, hal. 178.
[6] Muhammad
al-Husaini Ismail, al-haqiqah al-mutlaqah, terj. Alimin (Kebenaran
Mutlak), hal. 558.
[7] Richard, op.
cit., hal. 48.
[8] Fahmi
Salim, Kritik terhadap Studi Al-Qur’an Kaum Liberal, hal. 55.
[9] Baca
Fahmi Salim, Kritik, op. cit., hal. 56-57.
[10] Fahmi
Salim, Kritik, op. cit., hal. 125.
[11] Ibid.,
hal 125.
[12] Yunahar
Ilyas, Perlukah, op. cit., hal. 10.
[13] Ibid.,
hal. 140.
[14] Ibid.,
hal. 142.
[15] Muhammad
al-Husaini Ismail, al-haqiqah, op. cit., hal. 364-365.
[16] Ibid.,
hal. 363.
[17] M.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal. 28.