Aspek Kualitatif dalam Penelitian Kalam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut bahasa (etimologi) metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah.Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lgi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima (well received) tetapi berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak adaperbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak[1].Metodologi adalah ilmu cara-cara dan langkah-langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara[2].Sedangkan Penelitian merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban.Jadi Metodologi penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu.
Ilmu Kalam atau Teologi Islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional.Berkenaan dengan itu, maka obyek formal ilmu kalam adalah permasalahan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya.Sementara metodologinya, adalah upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah secara mendalam diikuti elaborasi pemahaman dengan fakta-fakta empirik.
Di dalam sejarah perkembangannya, teologi pada mulanya berkembang dari: Pertama, sebagai metodologi teologi sebagai sebuah metodologi merupakansuatu cara memahami suatu doktrin agama melalui pendekatan wahyu dan pemikirian rasional. Kedua, menjadi ilmu teologi sebagai sebuah ilmu, teologi merupakan ilmu yang membahas masalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya.Dan Ketiga, menjadi teologi aksiologi.Sebagai sebuah aksiologi merupakan upaya memahami doktrin agama secara mendalam untuk mengadvokasi berbagai permasalahan ketimpangan sosial.
Wilayah kajian teologi menyangkut aspek tokoh teologi, karya-karya para teolog, gagasan atau ide para teolog, sejarah perkembangannya, pengaruh timbal balik antara tokoh, karya-karya, dan gagasan para teolog dengan ipoleksosbudagama, perbandingan, dan selain hal yang tersebut.Berkenaan dengan itu, maka berbagai metodologi/pendekatan penelitiannya dapat menggunakan beragam metodologi penelitian. Hal ini disesuaikan dengan aspek teologi apa yang akan diteliti oleh para pengkajinya. Umpamanya, untuk meneliti tokoh teolog, dapat digunakan pendekatan antropologi, fenomenologi, struktualisme, atau selain pendekatan-pendekatan tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa sajakah aspek kualitatif dalam penelitian kalam?
2.      Bagaimanakah prinsip kualitatif dalam penelitian kalam?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk menjelaskan aspek kualitatif dalam penelitian kalam.
2.      Untuk menjelaskan bagaimana prinsip kualitatif dalam penelitian kalam.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Aspek Kualitatif dalam Penelitian Kalam
Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru., karena popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat positivism. Metode ini disebut juga sebagai metode artisitik, karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Metode ini juga sering disebut sebagai metode konstruktif karena, dengan metode kualitatif dapat  ditemukan data-data yang berserakan, selanjutnya, dikonstruksikan dalam suatu tema yang lebih bermakna dan mudah difahami[3].
Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistic karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.[4]
Seringkali peneliti membutuhkan sebuah cara yang sesuai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan hal itu, agar memperoleh ilmu pengetahuan yang relevan, maka fakta sebagai dasar pencarian ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat diabaikan. Aspek metodologi menjadi sesuatu yang krusial disamping aspek ontologi, epistimologi, aksiologi (Babbie, 1983). Dalam pendekatan kualitatif, seorang peneliti berupaya menguak sebuah gejala dengan memahaminya secara induktif. Pengamatan yang dilakukan melahirkan asumsi-asumsi yang selanjutnya dibuktikan dengan pengamatan yang lebih mendalam. Menariknya peneliti dalam penelitian kualitatif ini jelas tidak dapat meninggalkan peran nilainya dalam menghayati gejala sebagaimana pendekatan kualitatif.
Sebagai produk pemikiran manusia, wacana-wacana yang dihasilkan oleh aliran kalam seperti halnya aliran pemikiran keIslaman lainnya memiliki titik kelemahan dan perlu mendapat kritikan yang memadai dan konstruktif.Masalah-masalah ketuhanan yang tidak menyentuh persoalan-persoalan rill manusia yang kurang mendapat perhatian dari ilmu kalam merupakan titik kelemahan yang harus disoroti.
Sebagian besar penulis dan peneliti mensyaratkan bahwa pengambilan data penelitian kualitatif harus dilakukan sedekat mungkin, bahkan beberapa metode penelitian kualitatif, seperti metode penelitian etnografi, mensyaratkan penelitinya terlibat langsung di dalam setting yang ditelitinya, seperti yang dijelaskan oleh Patton(2001: 39) qualitative research uses a naturalistic approach seeks to understand phenomena in context-specific settings, such as real world setting (where) the researcher does not attempt to manipulate the phenomenon of interest. Oleh karena itu, data penelitian kualitatif tidak hanya berupa kondisi perilaku masyarakat yang diteliti, tetapi juga kondisi dan situasi lingkungan di sekitarnya. Untuk mencapai hal tersebut jenis data yang digunakan bervariasi, di antaranya pengalaman personal, introspektif, sejarah kehidupan, hasil wawancara, observasi lapangan, perjalanan sejarah, dan hasil pengamatan visual, yang menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas danproblematik kehidupan setiap individu yang terlibat di dalam penelitian[5].
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan secara hakikat keilmuan, karakteristik penelitian kualitatif dalam penelitian kalam mencakup beberapa aspek, Secara garis besar, titik kelemahan kalam yang menjadi sorotan berputar pada tiga aspek berikut ini:
1.      Aspek Ontologi
Harus diakui bahwa masalah-masalah aliran kalam yang ada hanya berkisar pada persoalan-persoalan ketuhanan dan yang berkaitan dengannya yang jauh dari persoalan kehidupan umat manusia.Kalaupun tetap dipertahankan bahwa masalah-masalah aliran kalam juga menyentuh persoalan kehidupan manusia, sedangkan perosalan itu adalah sesuatu yang terjadi pada masa lampau, yang notabene berbeda dengan persoalan-persoalan kehidupan manusia masa kini.Oleh karena itu, Fazlur Rahman berupaya untuk memformulasikan lagi hakikat ilmu kalam yang pada gilirannya mampu memperluas diskursus-diskursusnya.Menurutnya teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar memilki tanggung jawab moral (taqwa, menurut Al-Qur’an).Secara pasti teologi Islam merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi yang ada dalam Al-Qur’an.Teologi harus memiliki keguanaan dalam agama apabila teologi itu fungsional dalam kehidupan beragama.Disebut fungsional sejauh teologi tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spiritual bagi umat manusia serta dapat diajarkan kepada umat[6].
2.      Aspek Epistimologi
Yang dimaksud epistimologi pada pembahasan ini adalah cara yang digunakan oleh para pemuka aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan kalam, terutama ketika mereka menafsirkan Al-Qur’an. Kelemahan pada aspek ini sebagaimana disebutkan oleh Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean adalah terletak pada sisi metodologi.Menurut mereka bahwa demi membela sudut pandang tertentu, penafsiran-penafsiran teologis pada umumnya telah mendekati Al-Qur’an secara atomistic serta terlapas dari konteks kesejarahan dan kesustraan.Pemaksaan gagasan asing ke dalam Al-Qur’an juga merupakan gejala yang mewabah. Contoh penafsiran semacam ini terlihat jelas dalam pandangan golongan Asy’ariyah mengenai keabhsahan Al-Qur’an[7].
Golongan Asy’ariyah percaya bahwa Al-Qur’an atau kalam Allah itu abadi (Qadim), karena kata”kun” dalam surah Yaasin: 82 merupakan seluruh bentuk sifat kata yang abadi. Keyakinan ini merupakan tanggapan atas paham Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk (ciptaan), karenanya tidak qadim, sebab jika demikian maka akan ada yang qadim selain Allah dan ini tentu bertentangan dengan keesaan Allah. Dan merujuk kepada surah Ar-Ruum: 25 golongan Asy’ariyah berdalih bahwa perintah Allah bukan hanya merupakan alat pencipta tetapi juga pokok penegak ciptaan-Nya[8].
Menurut Adnan dan Rizal bahwa teori golongan Asy’ariyah tentang keabsahan Al-Qur’an kenyataannya senada dan berada dibawah pengaruh teori teolog Kristen dan pengikut aliran Stao tentang logos.Adnan dan Rizal melihat bahwa penafsiran golongan Asy’ariyah tersebut pada dasarnya merupakan tanggapan terhadap kebutuhan sejarah, yakni untuk membela sudut pandang golongan Ahlussunah.Penafsiran tersebut tidak dicuatkan dari Al-Qur’an, melainkan lebih merupakan pemaksaan gagasan asing ke dalamnya.Itulah sebabnya ayat yang dirujuk untuk membela pandangan mereka dilepaskan dari konteks sastra dan konteks kesejarahan yang bertalian dengannya.
Kritik senada dikemukakan oleh Muhammad Husen Adz-Dzahabi, bahwa ada kecenderungan para tokoh aliran kalam untuk mencocokkan Al-Qur’an dengan pandangan mazhabnya.Mereka menafsirkannya sesuai dengan jalan pikiran dan keinginannya serta menta’wilkan ayat yang berbeda sehingga tidak tampak berlawanan atau bertentangan dengan paham mazhabnya itu.Aliran kalam yang banyak mendapat sorotan Adz-Dzahabi adalah golongan Khawarij, Mu’tazilah, dan Syiah.Menurut Adz-Dzahabi kaum Khawarij terlalu mudah menghukum orang yang berdosa menjadi kafir hanya dengan tafsiran ayat 44 surah al-Maidah[9].Sementara kaum Mu’tazilah dengan mudah menafsirkan dan menta’wilkan ayat 22-23 surah al-Qiyamah sesuai dengan pandangannya, yakni bahwa Tuhan tidak mungkin dapat dilihat di akhirat nanti. Begitu pula dengan surah an-Nisa ayat 164 yang dita’wilkan bahwa kata dalam ayat tersebut berasal dari al-kalim, yang berarti luka (al-jarh), sehingga bermakna “Allah melukai Musa dengan kuku-kuku ujian dan cobaan hidup”. Adapun kaum Syi’ah telah melakukan kekeliruan dalam menafsirkan ayat 163 surah al-Baqarah.Menurut mereka kata ar-Rahman dalam ayat tersebut berarti Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dari kalangankeluarga Muhammad SAW (kaum Syi’ah).Allah memperkenankan mereka untuk melakukan Taqiyah.
3.      Aspek Aksiologi
Aspek aksiololgi ilmu kalam atau teologi Islam menyangkut pada kegunaan ilmu itu sendiri dalam menyingkap hakikat kebenaran. Al-Ghazali sebagai seorang tokoh ahli kalam klasik, merupakan cendekiawan muslim yang mempermasalahkan hal ini. Beliau tidak serta merta menolak ilmu kalam, tetapi menggarisbawahi keterbatasan-keterbatasan ilmu ini, sehingga berkesimpulan bahwa ilmu ini tidak dapat mengantarkan manusia untuk mendekati Tuhan. Hanya kehidupan sufi yang dapat mengantarkan seseorang dekat dengan Tuhan, katanya. Ibnu Taimiyah nampaknya sependapat dengan Al-Ghazali, sehingga dengan penuh semangat menganjurkan umat Islam untuk menjauhi ilmu kalam seperti halnya orang menjauhi singa[10].
Bertolak dari kelemahan-kelemahan ilmu kalam sebagaimana disebutkan di atas, tampaknya dekonstruksi terhadap ilmu ini merupakan sebuah keniscyaan.Dekonstruksi tidak berarti membongkar konstruksi yang sudah ada. Dalam dekonstruksi tetap diperlukan usaha-usaha yang mengirininya, yaitu merekonstruksi apa yang seharusnya merupakan tuntutan baru. Tujuan dekonstruksi adalah melakukan “demitologisasi” konsep atau pandangan-pandangan yang ada, yang telah menjadi “teks sakral” dan mitos keilmuan dalam dunia Islam.Untuk mencapai itu perlu dilakukan pembongkaran melalui gagasan kritis dan mendasar tipe rasionalitas yang seharusnya menjadi alas ilmu tersebut.

B.     Prinsip Kualitatif dalam Penelitian Kalam
Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa prinsip, Chadwick, 1991: 234-239 membagi prinsip-prinsip penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:
1.      “Pengalaman” merupakan cara yang terbaik untuk memahami perilaku sosial.
2.      Metodologi kualitatif mengacu pada strategi penelitian yang memungkinkan peneliti memperoleh informasi tangan pertama mengenai masalah sosial empiris yang hendak dipecahkan[11].
3.      Metodologi kualitatif memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen analitis, konseptual, dan kategoris dari data itu sendiri.
4.      Penelitian kualitatif mengandaikan interaksi dengan: (1) orang yang sedang diteliti (2) pemahaman budaya subyek penelitian, termasuk nilai, kepercayaan, poa-pola perilaku, dan bahasa, (3) perasaan, motif dan emosi subjek penelitian. Atau dengan kata lain: memasuki “Jiwa dan Pribadi” orang lain.
5.      Sebagian peneliti kualitatif menolak metode kuantitatif ilmiah (karena dinilai memaksakan teori yang kaku dan mengubah subyek yang ingin didalami oleh peneliti), namun sebagian lain menerima dan memanfaatkannya sejauh membantu melukiskan realitas sosial dari segi pandang subjek, dan bukannya dari sudut pandang pengamat.
6.      Banyak peneliti kualitatif berpendirian bahwa untuk memahami secara tepat perspektif orang lain, peneliti harus sesedikit mungkin melibatkan ide-ide atau teori-teori tentang pengukuran. Idealnya, peneliti sebaiknya melibatkan dirinya dalam interaksi dengan subjek penelitian dan lingkungannya, dan membiarkan bahasa penggambaran dan kesadaran tentang pola-pola tingkah laku muncul dari keterlibatan yang mendalam dengan subjek penelitian.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru., karena popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat positivism. Metode ini disebut juga sebagai metode artisitik, karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Metode ini juga sering disebut sebagai metode konstruktif karena, dengan metode kualitatif dapat  ditemukan data-data yang berserakan, selanjutnya, dikonstruksikan dalam suatu tema yang lebih bermakna dan mudah difahami. Ilmu Kalam atau Teologi Islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional.Berkenaan dengan itu, maka obyek formal ilmu kalam adalah permasalahan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya.Sementara metodologinya, adalah upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah secara mendalam diikuti elaborasi pemahaman dengan fakta-fakta empirik.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan secara hakikat keilmuan, karakteristik penelitian kualitatif dalam penelitian kalam mencakup beberapa aspek, Secara garis besar, titik kelemahan kalam yang menjadi sorotan berputar pada tiga aspek, yaitu aspek ontologis,epistemologis serta aspek axiology nya.
Ada beberapa priinsip dalam peelitian kualitatif dalam kalam. Yaitu, “Pengalaman” merupakan cara yang terbaik untuk memahami perilaku sosial, Metodologi kualitatif mengacu pada strategi penelitian yang memungkinkan peneliti memperoleh informasi tangan pertama mengenai masalah sosial empiris yang hendak dipecahkan

B.     Kritik dan Saran
Manusia berkembang dikala mereka membuat suatu perubahan dan selalu mengintrospeksi terhadap dirinya.Berangkat dari sebuah kenyataan yang menyelimuti langit dan bumi kini terbayang dalam setiap jiwa manusia.Kami pun mengharapakan kesempurnaan itu. Maka dari itu, kami membutuhkan kritikan yang membangun dan dapat mengapresiasi orang yang melakukannya untuk kami





[1] Muhyar Fanani,Metode Studi Islam, Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang, Pustaka Pelajar, Surabaya, 2008, hlm. ix
[2] Pios A Partatnto, M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiyah Populer, Arkoala, Surabaya, 1994, hlm. 462
[3]Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Alfabeta, Bandung, hlm. 12
[4] Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Alfabeta, Bandung, hlm. 13
[5]Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, hlm 98
[6]Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, hlm 98
[7]Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, hlm 99
[8]Ris’an Rusli, Teologi Islam, Tugas Gemilang, Palembang, 2014, hlm 114
[9]Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, 2015, hal 13
[10] Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, hlm 99
[11]Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, hlm 105 

Postingan populer dari blog ini

HADIS TARBAWI

Teks ceramah pidato kuliah tujuh menit KULTUM

Biografi Ibnu Abbas dan Tafsir di riwayatkan Fairuzzabaddi