MODEL PENELITIAN TAFSIR
MODEL PENELITIAN TAFSIR
A.
Pengertian Tafsir dan Fungsinya
Kata model berarti contoh, acuan, ragam, atau macam. Sedangkan penelitian
berarti pemeriksaan, penyelidikan yang dilakukan dengan berbagai cara secara
seksama dengan tujuan mencari kebenaran-kebenaran objektif yang di simpulkan
melalui data-data yang terkumpul. Kemudian kebenaran-kebenaran tersebut
digunakan sebagai dasar atau landasan untuk pembaharuan pengembangan atau
perbaikan dalam masalah-masalah teoretis dan praktis dalam bidang-bidang
pengetahuan yang bersangkutan.
Adapun tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yufassiru, tafsiran yang
berarti penjelasan, pemahaman dan perincian. Selain itu tafsir berarti al-idlah
wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. Pendapat lain mengatakan
bahwa kata tafsir sejajar dengan timbangan (wazan) kata tafil
diambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan (penjelasan) dan al-kasyf
yang berarti membuka atau menyingkap, dan dapat pula diambil dari kata al-tafsarah,
yaitu istilah yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Pengertian tafsir sebagaimana
dikemukakan pakar Alquran tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, namun
esensinya sama. Al-Jurjani, misalnya mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan
makna ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun
sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang
dapat menunjuk kepada makna yang di kehendaki secara terang dan jelas. Iman
Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Alquran
baik dari segi pemahaman, makna atau arti sesuai di kehendaki Allah, menurut
kadar kesanggupan manusia. Abu Hayan, sebagaimana dikutip Al-Suyuthi,
mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat pembahasan
mengenai cara mengucapkan lafal-lafal Alquran disertai makna serta hukum-hukum
yang terkandung didalamnya. Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu
yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Alquran), dengan
cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung
didalamnya.
Dari beberapa definisi di atas kita menemukan tiga ciri utama tafsir:
1. Di lihat dari segi
objek pembahasannya adalah kitabullah (Alquran) yang di dalamnya terkandung
firman Allah Swt yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw melalui
malaikat Jibril.
2. Dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap
kandungan Alquran sehingga dapat di jumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran
yang terkandung di dalamnya.
3. Dari segi sifat dan kedudukannya
adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir yang
didasarkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehigga suatau saat
dapat di tinjau kembali.
Dengan demikian, secara singkat dapat di ambil suatu
pengertian bahwa yang dimaksud dengan model penelitian tafsir adalah suatu
contoh, ragam, acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap
penafsiran Aquran yang pernah dilakukan generasi terdahulu untuk diketahui
secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya.
Objek pembahasan tafsir, yaitu Alquran merupakan sumber ajaran islam. Maka
menurut, Quraish Shihab pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran, melalui
penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan sangat besar bagi maju mundurnya
umat, sekaligus dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
B.
Latar Belakang Penelitian Tafsir
Dilihat dari segi usianya, penafsiran Alquran termasuk yang paling tua
dibandingkan dengan kegiatan ilmiah lainnya dalam islam. Pada saat Alquran
diturunkan lima belas abad yang lalu, Rasullullah Saw yang berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan) telah menjelaskan arti dan kandungan Alquran kepada
sahabat-sahabatnya, khususnya ayat-ayat yang tidak diketahui artinya. Setelah
wafatnya Rasulullah mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang
mempunyai kemampuan semacam Ai Bin Abi Thalib, Ibn ‘Abbas, Ubay bin Kaab dan
Ibn Mas’ud[1][5].
Disamping itu, para tokoh tafsir di kalangan sahabat mempunyai murid-murid
dari para tabi’in khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal, sehingga
lahirlah tokoh-tokoh baru dari kalangan tabi’in
di kota-kota tersebut.
Penafsiran Rasululah SAW, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in
di kelompokkan menjadi satu kelompok
yang selanjutnya dijadikan periode
pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in,
sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.
Pada periode kedua ini bermunculanlah hadits-hadits palsu dan lemah di tengah
masyarakat yang mengakibatkan perubahan sosial semakin menonjol dan timbullah
beberapa persoalan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, para
sahabat dan tabi’in.
Berdasarkan pada adanya
upaya penafsiran Al-Qur’an dari sejak zaman Rasulullah SAW hingga dewasa ini,
serta adanya sifat dari kandungan Al-Qur’an yang terus menerus memancarkan
cahaya kebenaran itulah yang mendorong timbulnya dua kegiatan. Pertama,kegiatan
penelitian disekitar produk-produk penafsiran yang dilakukan generasi
terdahulu, dan kedua, kegiatan penafsiran Al-Qur’an itu sendiri.[2]
Nata, Abuddin, Metodologi
Studi Islam, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011)
A. Macam-macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya
Ada dua bentuk penafsiran yang
dikenal sampai dengan saat ini yaitu al-ma’tsur (riwayat)
dan al-ra’y (pemikiran).
1. Al-ma’tsur (riwayat)
yaitu proses penafsiran yang menekankan pada data riwayat dari Nabi SAW. dan
atau sahabat, sebagai variabel penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an.
2. Al-ra’y (pemikiran),
yaitu proses penafsiran yang menekankan pada hasil pemikiran atau ijtihad.
B. Macam-macam Tafsir Berdasarkan Metodenya
1.
Metode Ijmali (Global)
Penafsiran
Al-Qur’an suatu metoda tafsir yang menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Pengertian tersebut
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas tapi mencakup dengan bahasa yang
populer, mudah dimengerti dan enak dibaca. Sistematika penulisannya menurut
susunan ayat-ayat di dalam mushhaf. Di samping itu penyajiannya tidak terlalu
jauh dari gaya bahasa AL-Qur’an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan
masih tetap mendengar Al-Qur’an padahal yang didengarnya itu tafsirnya. Dalam
metode ijmali seorang mufasir langsung menafsirkan Al-Qur’an
dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
Kelebihannya
a.
Praktis mudah dipahami
c.
Tafsir Al Qur’an dengan metode ini
sangat membantu bagi mereka yang termasuk pada permulaan dalam mempelajari
tafsir
Kelemahan
a.
Tidak ada ruang untuk lebih mengkaji lebih dalam
b.
Menjadikan petunjuk al-Qur’an tidak parsial
(berhubungan)
2.
Metode tahlili
(Analisis)
Secara terminologi metode Tahlily
adalah menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan dengan menerangkan makna-makna
yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir
yang menafsirkan ayat-ayat terebut; ia menjelaskan dengan pengertian dan
kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surat-suratnya, asbabun
nuzulnya hadis-hadis yang berhubungan dan pendapat para mufasir
terdahulu yang diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
3.
Metode
muqarin (komparatif)
Secara etimologis kata maqarin adalah
merupakan bentuk isim al-fa’il dari kata qarana, maknannya
adalah membandingkan antara dua hal. Jadi dapa dikatakan tafsir maqarin adalah
tafsir perbandingan. Secara terminologis adalah menafsirkan sekelompok ayat Al
Qur’an atau suatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan
ayat, atau atara ayat dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan
aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan
Dilihat dari aspek sasaran (objek) bahasa terdapat
tiga aspek yang dikaji dalam perbandingan, yaitu :
- Perbandingan
ayat dengan ayat
- Perbandingan
ayat dengan hadis
- Perbandingan
para pendapat mufasir
Adapun kelebihan
metode maqarin adalah sebagai berikut :
a.
Memberikan wawasan yang luas
b.
Membuka diri untuk selalu bersikap toleran
c.
Dapat mengetahui berbagai penafsiran
d.
Membuat mufasir lebih berhati-hati
Adapun kekurangan
dari metode maqarin adalah sebagai berikut :
a.
Tidak cocok untuk pemula
b.
Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer
c.
Menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir
4.
Metode Mawdhu’iy
(Tematik)
Kata maudhu’iy
ini dinisbahkan kepada kata al-mawdhu’i, artinya adalah topik atau
materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara semantik. Jadi tafsir mawdhu’i
adalah tafsir ayat Al Qur’an berdasarkan tema atau topik tertentu. Jadi
para mufasir mencari tema-tema atau topik-topik yang berada di
tengah-tengah masyarakat atau berasal dari Al Qur’an itu sendiri atau
dari yang lain-lain. Tafsir ayat Al Qur’an dengan metode ini memiliki dua
bentuk :
a. Menafsirkan
satu surat dalam Al Qur’an secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan
tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta menjelaskan korelasi antara
persoalan-persoalan yang beragam dalam surat terebut, sehingga satu surat
tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang utuh.
b. Menfasirkan
dengan cara menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu
dari berbagai ayat dan surat Al Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan
turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-ayat
tersebut untuk menarik petunjuk AL Qur’an secara utuh tentang masalah yang akan
dibahas.
Dalam menafsirkan
ayat Al Qur’an dengan metode Maudhu’i ada beberapa langkah yang harus
dilewati oleh para mufasir, antara lain :
a. Menghimpun
ayat-ayat yang berkenaan dengan judul yang sesuai dengan kronologi urutan
turunnya ayat tersebut. Langkah ini diperlukan guna mengetahui kemungkinan
adanya ayat Al Qur’an yang mansukh.
b. Menulusuri
latar belakang turunnya ayat-ayat Al Qur’an yang telah dihimpun
c. Meneliti
dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut,
terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan pada ayat tersebut.
Setelah itu ayat tersebut dikaji dari berbagai aspek yang masih berkaitan
dengannya seperti bahasa, budaya, sejarah dan munasabat.
d. Mengkaji
pemahaman ayat-ayat dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir,
baik yang klasik maupun yang kontemporer.
e. Mengkaji
semua ayat secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif
melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar serta didukung oleh fakta-fakta
sejarah yang ditemukan.
Metode ini pun tak
luput dari adanya kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah sebagai
berikut :
a.
Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan
kondisinya
b.
Lebih praktis dan sistematis
c.
Sangat dinamis
d.
Menafsirkannya lebih utuh
Adapun
kekurangannya adalah sebagai berikut :
a.
Memenggal ayat Al Qur’an
b.
Membatasi pemahaman ayat[4]
C. CONTOHNYA
Adapun contoh-contoh dari masing-masing metode tafsir
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Contoh
Metode Global (Ijmali)
Dapat
dilihat pada tafsir aljalalain karya jalaluddin al-mahalli dan jalaluddin
as-suyuti, ketika menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 1 dan 2:
Artinya: Alif
laam miin. (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa.
2.
Contoh
Metode Analitis (Tahlili)
Contohnya adalah dalam surat
An-Nisa’ ayat 164 berikut:
Artinya:
“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”
Al-Zamkhasyari dengan melakukan
penafsiran kosa kata, mengartikan lafadz kallama
dengan Al-Jarb. Dengan demikian ayat tersebut diberi arti “dan Allah telah
melukai Musa dengan kuku-kuku ujian dan cobaan-cobaan hidup”. Untuk ayat dan
lafadz yang sama, al-razi tetap memakai arti yang umum yaitu berbicara.
Sehingga penafsiran yang selama ini dikenal yaitu bahwa Allah berbicara kepada
Musa.[5][9]
3.
Contoh
Metode Komparatif (Muqaran)
QS. Al-Anfal ayat 10:
Artinya :
“Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai
kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu
hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dibandingkan dengan QS Ali Imran
ayat 126
Artinya : “Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala
bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar
tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Kedua ayat tersebut redaksinya
kelihatan mirip, bahkan sama-sama menjelaskan pertolongan Allah kepada kaum
muslimin ketika melawan musuh-musuhnya, namun berbeda pada hal-hal sebabi
berikut. Pada surat Al-Anfal pertama mendahulukan kata ÏmÎ daripada Nä3çqè=è%, memakai kata cÎ), berbicara mengenai perang badar.
Sedangkan pada Surat Ali Imran memakai kata
Nä3s9 dan berbicara tentang perang uhud.
Keterdahuluan kata mÎ dan penambahan kata cÎ), dalam ayat pertama diduga keras
sebagai tauhid terhadap kandungan utama ayat, yakni bantuan dari Allah pada
perang badar, mengingat perang itu yang pertama dan jumlah kaum muslimin
sedikit.
Dalam perang uhud, tauhid itu tidak
diperlukan, sebab pengalaman perang sudah ada dan umat islam sudah banyak, dan
pemakaian kata disini menandakan kegembiraan itu hanya bagi sahabat, bukan
kegembiraan abadi seperti kasus ayat pertama.[6][10]
4.
Contoh
Metode Tematik (Maudhu’i)
Sebagai
contoh misalnya, seorang mufassir mengkaji dan menafsirkan surat Yasin.[7][11] Kemudian
berdasarkan kajiannya ia mengatakan, bahwa surat itu dapat dibagi menjadi tiga
bagian yang masing-masing bagian saling berkaitan, bersambung dan mengarah
kepada satu pengertian (masalah).
Bagian pertama, dari awal surat sampai ayat ke 32,
mengarah kepada penjelasan tentang kerasulan Muhammad SAW, menetapkan
kenabiannya, menuturkan keadaan orang-orang musyrik, baik dari golongan Quraisy
maupun golongan lain, dan mengemukakan tentang penduduk suatu negeri sebagai
contoh bagi mereka, agar mereka mengambil pelajaran darinya dan mengubah sikap
ingkar mereka, serta mengancam mereka dengan siksa jika mereka tidak beriman.
Bagian kedua, dari ayat 33-44, mengetengahkan dalil-dalil atas wujud Allah
SWT dan keluasan ilmu-Nya, sehingga mereka beriman kepada-Nya. Dalam ayat itu
dikemukakan tiga tanda kekuasaan-Nya, yaitu:
a.
Kelompok
pertama dari ayat-ayat tersebut (33-36), berkaitan dengan bumi. Disini
dikemukakan tiga bukti kekuasaan Allah, yaitu menciptakan segala yang ada
dibumi, yaitu biji-bijian dan kebun-kebun, memancarkan mata air dengan air yang
tawar dan manis, dan menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari mereka sendiri maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui
b.
Kelompok
kedua dari ayat-ayat tersebut (37-40), berkaitan dengan langit. Disini
dikemukakan tiga bukti kekuasaan Allah, yaitu pergantian waktu siang dan malam
serta penciptaan langit, penciptaan bulan dan bintang-bintang, dan beredarnya
semua benda-benda langit diruang angkasa
c.
Kelompok
ketiga dari ayat-ayat tersebut (41-44), berkaitan dengan air. Disini juga
dikemukakan tiga bukti kekuasaan Allah, yaitu penciptaan lautan dan
sungai-sungai, penciptaan bahtera (kapal) sebagai sarana transportasi orang
maupun barang, dan penciptaan onta sebagai alat transportasi bagi mereka
dipadang pasir dan untuk membawa barang-barang mereka
Bagian
ketiga, dari ayat 45 sampai akhir surat, menuturkan keadaan dan segala kejadian
pada hari kiamat, yaitu peniupan sangkakala, surga dan kenikmatannya, neraka
dan siksanya, juga menuturkan bukti-bukti kekuasaan Allah untuk membangkitkan
dan menghidupkan manusia kembali.
Tiga bagian
dari surat yasin tersebut pada dasarnya merupakan satu masalah, yaitu dorongan
untuk beriman kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir.kemudian mufassir
berupaya menguraikan sub-sub masalah itu. [8]