PERKEMBANGAN KONSEP REALITAS SOSIAL SEPANJANG SEJARAH TAHAP DINAMIS HISTORIS (FILSUF POSITIVIS) AUGUSTE COMTE

KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kami haturkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah membawa kita semua ke jalan kebenaran yang diridhoi Allah SWT.
            Maksud kami membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sosial yang diamanatkan oleh dosen. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan baik dalam cara penulisan maupun di dalam isi.
            Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi kami yang membuat dan umumnya bagi yang membaca makalah ini untuk menambah pengetahuan tentang Filsafat Sosial.














DAFTAR ISI

I.         Kata Pengantar........................................................................................... I
II.      Daftar Isi.................................................................................................. II
1.        Bab I Pendahuluan
A.      Latar Belakang................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah............................................................................... 1
C.       Tujuan................................................................................................. 1
2.        Bab II Pembahasan
A.      Pengertian Agama Kong Hu Cu......................................................... 2
B.       Ajaran Tentang Kepercayaan.............................................................. 2
C.       Ajaran Tentang Penyembahan............................................................ 3
D.      Pokok-Pokok Ajaran........................................................................... 4
E.       Lima Sifat Mulia (Wu Chang)............................................................ 6
F.        Confusianisme Pada Zaman Cina Klasik........................................... 7
G.      Kitab Suci......................................................................................... 10
3.        Bab III Penutup
1.        Kesimpulan....................................................................................... 11
2.        Saran................................................................................................. 11
4.        Daftar Pustaka......................................................................................... 12




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Auguste Comte merupakan sosok filosof besar dan cukup berpengaruh bagi perkembangan technoscience, dimana dia merupakan penggagas dari aliran positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad XIX dan merupakan kelanjutan empirisme.
Aliran Positivisme ini merupakan aliran produk pemikiran Auguste Comte yang cukup berpengaruh bagi peradaban manusia. Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia yaitu tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positifistik. Pada tahap teologik pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, kemudian pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai filsafat serta pada tahap positifisme, manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Filsafat positifisme Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolak ukur “kebenaran”.
Begitu pentingnya sebuaha kebenaran bagi manusia yang menuntutnya selalu berusaha mencari hakekatnya, sehingga tanpa sadar bahwa kebenaran telah menjadi permasalahan pokok manusia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Pengertian dari Positivisme?
2.      Siapakah Auguste Comte?
3.      Bagaimana pemikiran Auguste Comte mengenai Positivisme?

C.    Tujuan
1.         Untuk menjelaskan bagaimana pengertian dari Positivisme dan perkembangannya
2.         Untuk menjelaskan biografi lengkap Auguste Comte
3.         Untuk menjelaskan pemikiran Auguste Comte mengenai Positivisme



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Positivisme
Positivisme berasal dari kata-positif. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah  boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan hakikat benda-benda, atau penyebab yang sebenarnya, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta (Praja, 2005).
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan akurasinya dalam kehidupan dan keberadaan masyarakat.
Comte sering disebut Bapak Positivisme karena aliran filsafat yang di dirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang dengan sangat cepat, ia tidak hanya menjadi sekedar aliran filsafat tapi juga telah menjadi agama humanis modern. Positivisme telah menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme adalah  pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti-properti mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya.
Seeing is believing (Syaebani, 2008). Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang di cita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber  pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia hanya ,mengandalkan pada fakta-fakta.
Menurut  Ahmad (2009) Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Menurut Ernst, ilmu hendaknya dijauhkan dari tafisran-tafsiran metafisis yang merusak obyektifitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafisran metafisis dari ilmu, para ilmuwan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasil proposisi- proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi- proposisi. Alasan yang digunakan oleh positivisme dalam membatasi tugas filsafat di atas adalah karena filsafat bukanlah ilmu. Kata filsafat hendaklah diartikan sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari ilmu-ilmu eksakta. Penjelasan dari hal ini adalah bahwa tugas utama dari ilmu adalah memberi tafsiran terhadap materi yang menjadi obyek ilmu tersebut. Tugas dari ilmu-ilmu eksakta adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi di alam dan sebab-sebab terjadinya. Sementara tugas ilmu-ilmu sosial adalah memberi tafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi pada manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat.
Dan karena semua obyek pengetahuan baik yang berhubungan dengan alam maupun yang berhubungan dengan manusia sudah ditafsirkan oleh masing-masing ilmu yang berhubungan dengannya, maka tidak ada lagi obyek yang perlu ditafsirkan oleh filsafat. Oleh karena itulah dapat disimpulkan bahwa filsafat bukanlah ilmu.

B.     Auguste Comte
Ia lahir tahun 1798 di kota Monpellier Prancis Selatan, berasal dari kelas menengah, anak dari orang tua yang menjadi pegawai kerajaan dan penganut agama Katolik yang saleh. Ia menikahi Caroline Massin, seorang bekas pelacur, yang nampaknya kemudian disesali, karena ia pernah menyatakan bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan besar dalam hidupnya. Selama dua tahun, dari 1914 hingga 1916 Comte belajar di Sekolah Politeknik di Paris[1].
Tahun 1817 diangkat menjadi sekretaris Saint Simon, seorang pemikir yang dalam merespon dampak negatif renaissance menolak untuk kembali ke abad tengah, melainkan justru harus direspon dengan membangun basis intelektual baru, yakni berfikir empirik dalam mengkaji persoalan realitas sosial. Pemisahan diri dengan Saint  Simon terjadi manakala Comte kemudian menerbitkan buku “Sistem Politik Positif” tahun 1824. Pada tahun 1830 seri “Filsafat Positif” yang ia susun diterbitkan, dan kemudian menyusul seri-seri berikutnya sampai dengan tahun 1842. Comte itulah yang kemudian dianggap pertama kali memakai istilah Sosiologi- meski bahwa yang sesungguhnnya lebih tepat menjadi sumber awal sosiologi adalah tokoh semacam Adam Smith atau pada umumnya kaum Moralis Scottish.
Sejak kecil Comte telah menunjukkan diri sebagai seorang yang berpikiran bebas, mempunyai kemampuan berpikir, penganut republik yang militan, skeptis terhadap ajaran-ajaran Katolik , dan kritis terhadap mahagurunya. Pemikiran-pemikiran Comte banyak dipengaruhi pemikiran gurunya Saint Simon. Kemudian dipengaruhi oleh Revolusi Prancis. Pemikiran Comte muncul dilatar belakangi oleh Revolusi Perancis. Ia menilai bahwa revolusi terjadi akibat pencerahan yang terjadi pada saat itu, yang menimbulkan anarkisme.


C.    Hukum Evolusi Tiga Tahap
Dalam memahami krisis Comte berpendapat harus melalui pedoman-pedoman berpikir ilmiah. Dia juga banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial Encyclopedist Perancis, aliran reaksioner dan sosialistik. Ia kemudian dikenal sebagai pencetus perspektif pengetahuan positivisme atau filsafat positifistik, sebagai bentuk perlawanan terhadap filsafat dan cara berpikir yang melandasi para filosof pencerahan. Comte berada dalam posisi yang sejalan dengan gerakan antirevolusi kaum Katolik- terutama dari de Bonald dan de Maistre.
Dua hal yang dapat didiskusikan dalam hal ini, pertama bahwa ia tidak mempunyai bayangan untuk berpikir kembali ke abad pertengahan, karena perkembangan industri dan pengetahuan jelas tidak memungkinkan hal itu; kedua ia mengembangkan sistem teotrikal yang menarik ketimbang para pendahulunya sehingga lebih memadai sebagai dasar pijakan pemikiran awal sosiologi. Sebagai wujud terhadap perlawanannya terhadap filsafat negatif yang mendasari pencerahan dan revolusi Prancis, Comte secara tegas menolak revolusioner. Ia menganjurkan perubahan evolusi. Reformasi dibutuhkan sejauh membantu proses evolusi itu sendiri.
Teori evolusi inilah kemudian yang mendorong lahirnya hukum tiga tahap perkembangan ( the law of the three stages) dan ia percaya bahwa semua ilmu pengetahuan melampaui ketiga tahap tersebut sesuai dengan tingkat kompleksitas mereka masing-masing. Ia percaya bahwa ilmu positivis yang berjaya dalam dunia matematik, astronomi, fisika dan biologi haruslah dapat diberlakukan dalam dunia politik yang pada muaranya kemudian masuk kepda pengetahuan sosial positive, yang ia sebut dengan sosiologi. Ketiga tahap pengetahuan yang dimaksud Comte itu tiada lain adalah:
1.        Tahap Teologis
Dalam tahap ini masyarakatpercya akan kekuatan supernatural, dan agama di atas segala-galanya. Manusia menempatkan diri sebagai peserta, yang dalam istilah Bruhl disebut dengan “mental partisipasi”, di mana manusia dalam hidupnya tidak bisa lebih selain ikut serta dalam proses-proses kosmos yang dikendalikan oleh gagasan-gagasan keagamaan. Dunia fisika maupun sosial dipandang sebagai produk Tuhan. Bentuk-bentuk pemikiran tahap awal perkembangan atau evolusi manusia ini antara lain adalah fetishme dan animisme yang menganggap alam semesta ini berjiwa. Benda-benda dianggap sebagai sosok partikular, unik, individual dan bukan yang abstrak dan umum. Dunia dihayati sebagai kdiaman roh-roh atau bangsa halus, sebagai cermin penghayatan keilahian manusia purba.
Masih dalam tahap teologis, namun sedikit lebih maju adalah paham Politheisme, yang mulai menyatukan dan mengelompokkan semua benda dan kejadian alam dengan berdasar pada kesamaan-kesamaannya. Polteisme dengan demikian menggambarkan upaya manusia untuk berfikr leebih teratur, tertib dan juga lebih sederhana dalam memandang alam semesta yang beraneka ragam. Evolusi ke arah pikiran yang lebih tertib itu kemudian sampai juga kepada pandangan monotheisme, yang mampu berfikir lebih sistematik. Kekuatan yang pusparagam itu disederhanakan menjadi satu Tuhan yang berdaulat penuh dan berkuasa mutlak atas langit dan bumi.
2.        Tahap Metafisika
Dalam tahap ini masyarakat berkeyakinan bahwa kekuatan abstrak dn bukan personifikasi Tuhan sebagai sumber kekuatan fisik maupun realitas sosial. Dengan kata lain, dalam mencoba menjelaskan berbagai peristiwa dan fenomena alam, manusia mencoba melakukan abstraksi dengan kekuatan akal-budinya, sehingga diperoleh pengertian-pengertian metafisis. Prinsip-prinsip penjelasan tentang realitas, fenomena dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri. Namun oleh karena penjelasan yang dilakukan belum bersifat empirik, maka cara menjelaskan berbagai ranah atau realm kehidupan itu tidak berhasil membuahkan ilmu pengetahuan baru, dan belum dapat menjelaskan hukum alam, kodrat manusia, keharusan mutlak dan berbagai pengertian lainnya. Sehingga menurut Comte , cara berfikir metafisik ini sebenarnya adalah pergantian nama saja dari cara berfikir teologis. Manusia dalam tahap ini belum bisa berfikir empirik. Manusia hanya berkutat dalam dunia metafisis. Baginya, cara berfikir manusia haru keluar dari tradisi teologis maupun metafisik untuk menghasilkan pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai sarana mencari kebenaran serta melihat realitas sebenarnya.

3.        Tahap Positivisme
Pada akhirnya perkembangan masyarakat memasuki tahap positivistic, tahap di mana masyarakat mempercayai pengetahuan ilmiah dan manusia berkonsentrasi pada kegiatan observasi untuk menemukan keteraturn dunia fisik maupun sosial.
Pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas dasar metode empirik. Manusia tumbuh menjadi kekuatan yang mampu menggunakan akal budinya untuk menemukan pengetahuan baru. Dalam tahap inilah maka pemikiran positivistik,  empirik dan naturalistik menggantikan otoritas pengetahuan teologis, serta pengetahuan metafisis.  Orde empirik, yang disandarkan kepada pencerahan akal budi, seperti yang dimimpikan oleh Rene Descartes (1596-1650) muncul ke permukaan sehingga menandai dimulainya sutu perubahan cara hidup manusia yang baru. Cara berfikir spekulatif, normologik, harus menyerahkan otoritas hegemoniknya kepada dominasi berfikir empirik-nomotetik, cara berfikir yang menganut pengetahuan natralistik.
Dalam sebuah tulisannya Comte menyatakan bagaimana cara berfikir modern menolak filsafat di masa-masa sebelumnya:
   “Jika kita merenungkan semangat positive dikaitkan dengan konsep ilmiah... kita akan menemukan bahwa filsafat ini berbeda dengan theologico-methaphisical karena berkecenderungan untuk menggambarkan ide-ide yang semula adalah absolut. Bagian yang tak terelakkandari absolut menuju yang relative ini adalah salah satu hasil dari filafat yang sangat penting dari setiap revolusi spekulasi dari teologi atau metafisikal menuju ranah berfikir ilmiah. Dalam pandangan ilmiah, perbedaan antara relative dan absolut itu dapt dianggap sebagai manisfestasi penolakkan yang jelas dari filsafat modern terhadap filsafat di masa lalu.”
Kecenderungannya untuk menelusuri ilmu pengetahuan atas dasar hukum-hukum keteraturan alam, Comte menyatakan:
   “Cukup lama manusia belajar bahwa kekuatan manusia memodifikasi fenomena hanya akan berhasil jika melalui pengetahuannya tentang hukum alam dan ketika berhadapan dengan ketidak dewasaan pengetahuan, mereka yakin bahwa dirinya mampu mengerahkan kekuatannya yang tak terbatas mengahadapi fenomena pengetahuan semacama itu... kita menyaksikan aliran metafisikal.. menganggap peristiwa-peristiwa yang bisa diamati sebagai kebetulan dan kadang-kadang metode yang ditawarkannya nampak sangat absurd, melecehkan kekuatan akal budi manusia dalam memahami kehidupan manusia. Aliran ini memperlihatkan tindakan sosial manusia menjadi tidak pasti dan arbitrary, termasuk dalam memikirkan gejala biologi, kimia, fisika dan bahkan astronomi, pada tahap awal perkembangan pengetahuan yang mereka miliki. Di situ tidak ada peluang menumbuhkan keteraturan dan konsensus. Prosedur (positive) adalah basis pengetahuan dalam kehidupan manusia; karena kecenderungan watak manusia yang menghendaki karakteristik otoritas yang sebenarnya yang harus dipenuhi dengan menempuh hukum rasional.”










BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
B.     Saran









DAFTAR PUSTAKA





[1]Zainuddin Maliki, Rekonstruksi Teori Sosial Modern, hlm 56

Postingan populer dari blog ini

HADIS TARBAWI

Teks ceramah pidato kuliah tujuh menit KULTUM

Biografi Ibnu Abbas dan Tafsir di riwayatkan Fairuzzabaddi